www.zejournal.mobi
Jumat, 26 April 2024

Protes Pecah di Rusia Menentang Wamil ke Ukraina, 261 Ribu Orang Eksodus

Penulis : Ian - Publica News | Editor : Anty | Selasa, 27 September 2022 10:51

Entah bernyali atau tidak tahu undang-undang, Dmitry Skurikhin (62) memasang spanduk besar di depan tokonya di desa dekat Leningrad: 'Persetan dengan Mobilisasi Anda'. Spanduk untuk memprotes mobilisasi militer parsial itu viral di media sosial.

Jumat (23/9) pekan lalu, seregu petugas Dinas Keamanan Rusia (FSB), pengganti KGB, menggerebek rumahnya. Skurikhin dituduh 'mendiskreditkan' militer. Mereka menyita seluruh uang, barang dagangan, komputer, dan ponsel anak-anaknya yang diperlukan untuk sekolah.

"Mereka meninggalkan sebuah keluarga dengan beberapa anak sama sekali tanpa uang," kata Dmitry Gerasimov, pengacara dari kelompok hak asasi Rusia Setevyye Svobody, kepada Moscow Times, Senin (26/9).

Toko dan rumah dua lantai milik Skurikhin hancur. Anak dan istrinya mengungsi. Menurut Radio Free Europe, Skurikhin sudah dilepas hari ini sambil menunggu sidang. Tapi ia dalam pengawasan ketat dan dilarang berbicara kepada media.

Gerasimov menolak untuk menjelaskan dimana Skurikhin berada sekarang demi keamanan. "Klien saya dilarang berbicara atau menggunakan layanan pesan atau email," ujarnya.

Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengeluarkan kebijakan 'mobilisasi militer parsial' pada Rabu pekan lalu. Kremlin membutuhkan 300 ribu warga untuk dikirim berperang ke Ukraina. Rekruitmen ini menyusul kekalahan Rusia di sejumlah kota Ukraina yang diduduki.

Menurut beleid tersebut, mereka yang menolak 'mobilisasi' bisa dipenjara hingga 15 tahun. Setiap pria berusia 18-40 tahun wajib menjadi militer cadangan.

Banyak orang Rusia menolak untuk dikirim berperang ke Ukraina, mereka menyebutnya sebagai 'perangnya Putin'. Bangsa Rusia tidak memerangi Ukraina.

Menurut Novaya Gazeta, mengutip sumber FSB, dalam empat hari ini 261 ribu orang meninggalkan Rusia untuk menghindari dikirim ke Ukraina. Putin telah memutuskan menutup perbatasan mulai besok untuk mencegah eksodus yang makin meluas.

Protes pecah di 25 kota Rusia sejak itu. Menurut lembaga pemantau OVD-Info, pemrotes yang ditahan hingga hari ini tercatat 842 orang. "Setengah dari mereka ditangkap di Moskow," ujar pernyataan OVD-Info.

Di Republik Daghestan, Rusia selatan, ibu-ibu turun ke jalan untuk mencegah anak mereka dibawa paksa oleh militer. "Mengapa kalian membawa paksa anak-anak kami?" teriak satu orang.

Sekelompok emak-emak mengejar seorang polisi, sementara beberapa video merekam bentrokan, termasuk polisi yang duduk di atas tubuh pengunjuk rasa yang terkapar.

Kemarahan publik tampak sangat kuat di daerah-daerah etnis minoritas yang miskin seperti Dagestan, wilayah mayoritas Muslim di tepi Laut Kaspia, di pegunungan Kaukasus utara. Di kota Ust-Ilimsk, Siberia, seorang pemuda nekat menembak komandan tempat pendaftaran wamil. "Tidak ada yang akan pergi berperang," kata pemuda tersebut sebelum diringkus.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengakui beberapa panggilan telah 'salah alamat' dan akan diperbaiki. "Jika ada kesalahan, itu perlu diperbaiki," katanya. "Pihak berwenang di setiap tingkatan harus memahami tanggung jawab mereka."

Lalu bagaimana dengan Skurikhin, yang tak masuk kriteria wajib militer? Pejabat Kremlin menyebut dosa pria 62 tahun itu adalah memprotes dan itu artinya 'mendiskreditkan' militer.

"Saya mungkin masuk penjara. Tidak apa-apa," ujar Skurikhin pasrah, lewat pengacaranya.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar