www.zejournal.mobi
Rabu, 08 Mei 2024

Lazimkah Ekspresi Marah Penguasa hingga Meminta Korban Nyawa?

Penulis : Ruskandi Anggawiria | Editor : Anty | Kamis, 01 September 2022 11:03

Disclaimer, tulisan ini menggunakan beberapa pendekatan spiritual, khususnya Islam semata-mata karena pemahaman penulis sebagai pemeluk agama tersebur.

Ahmad Sahroni, Wakil ketua Komisi III DPR blak-blakan mengaku dirinya berteman dengan Ferdy Sambo, ketika mantan Kadiv Propam itu belum jadi apa-apa. Dan dia pun kenal secara dekat termasuk karakter dan kepribadiannya.

Lebih lanjut dikatakannya, ketika kasus pembunuhan Brigadir Joshua terkuak, Roni pun terkejut, kenapa teman yang dulu cenderung baik dan ramah itu, kini berubah total, dan bahkan tega menghilangkan nyawa orang kepercayaannya sendiri?

“Inilah contoh perilaku yang menjadi hasil akhir dari karir yang meningkat sangat cepat tanpa dibarengi manajemen kepribadian, dia lupa diri dengan kekuasaan yang dimilikinya”, demikian Sahroni berfilsafat, menjawab pertanyaan Deddy Corbuzier di acara podcast “Close The Door”..

Gambaran Sahroni tentang teman lamanya ini seakan menasbihkan bahwa seseorang bisa berubah drastic hanya dalam waktu singkat, hanya karena sebuah faktor trivial. Faktor dimaksud adalah Illah, istilah spiritual bagi mereka yang secara tak sadar memiliki Tuhan lain.

Barangkali inilah salah satu hal yang mendasari larangan manusia menyekutukan Tuhan. Bahkan dalam ajaran Islam, syirik masuk dalam kategori tak terampuni. Sikap angkuh, takabur, riya dan kebanggaan berlebihan, termasuk dalam kategori menyekutukan Tuhan, yang tidak terampuni, sesuai ajaran Islam.

Meskipun Ferdy Sambo tidak paham ajaran Islam, namun kita yakin ajaran agamanya juga memiliki tuntunan tentang masalah ini. Tuhan akan sangat murka jika makhluknya justru menuhankan selain Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kalau kita cermati lebih dalam, sebagaimana diulas dalam podcast tersebut, pembunuhan seorang yang dianggap mengganggu martabat si pelaku, terasa berlebihan, jika memang pemicunya semata-mata karena masalah itu. Pertanyaan yang mungkin akan lama menggantung, kenapa harus dibunuh? Apakah tidak cukup jika misalnya memberinya hukuman fisik biasa, atau dibawa ke ranah hukum?

Sangat masuk akal jika kita menilai si pelaku mungkin memiliki penyimpangan psikologis, sehingga dia cenderung mengeksploitasi kekuasaannya sedemikian rupa, agar tak ada seorang pun berani memancing kemarahan dirinya. Betapa beresikonya jika pribadi semacam itu dimiliki banyak pejabat atau pemilik superioritas.

Ada sebuah peristiwa yang bisa jadi terpicu oleh kejadian yang mirip dengan kejadian di Duren III ini. Penulis sekedar memberi ilustrasi, betapa pentingnya seorang penguasa di bidang apapun, di dalam dirinya terdapat kematangan emosi, agar terhindar dari potensi destruktif.

Publik mudah-mudahan dapat mengira-ngira kejadian manakah yang pemicunya mirip dengan pemicu kemarahan si pelaku pembunuhan Joshua. Ketika itu, seseorang terbunuh oleh dua eksekutor di jalanan dengan cara ditembak. Sungguh aneh karena hasil otopsi terkesan direkayasa. Seorang ahli forensik kala itu menjelaskan, bekas tembakannya menunjukkan dia ditembak dari jarak jauh, sementara eksekutor yang bertanggung jawab hanya berjarak beberapa meter dari posisi korban.

Ajaibnya, kasus ini menyeret beberapa sosok pejabat sebagai tersangka otak pembunuhan. Meskipun di pengadilan terdakwa menepis dakwaan jaksa, tetap saja dia divonis bersalah. Bukti yang belakangan diduga sumir, telah menggiring si pejabat ke jeruji besi.

Spekulasi pun beredar, diduga pemicu dari skenario dilibatkannya seorang otak pembunuhan itu, karena ada kaitannya dengan kemarahan seorang pejabat publik kepada sang terpidana yang diduga telah menyinggung kehormatannya. Spekulasi itu pun tetap tersimpan sebagai misteri hingga saat ini

Betapa tragis dua korban pembunuhan itu, hanya karena dipicu kemarahan si pemilik superioritas, mereka harus meregang nyawa. Jika Joshua memang menjadi satu-satunya target, namun yang terdampak dari upaya rekayasa kasus, mencapai puluhan apparat polisi menghadapi proses pemeriksaan.

Berbeda dengan kasus terdahulu, korban diduga hanyalah merupakan umpan untuk menyasar target utama. Namun betapa miris jika spekulasi itu terbukti benar, karena untuk menjadi pintu masuk sehingga si target dipenjarakan, si korban harus meregang nyawa.

Hikmah dari dua peristiwa pidana ini mungkin akan mengilhami kita, betapa rumitnya suasana hati mereka yang karena merasa berkuasa, namun dia menghadapi kenyataan yang membuatnya marah. Dalam hal ini kita perlu memahami betapa pentingnya upaya introspeksi, sebelum maksud jahat yang direncanakannya terlanjur menimbulkan korban. Manajemen emosi barangkali sangat berperan untuk mengendalikan pikiran negative, tidak hanya bagi mereka yang mudah menggerakkan orang lain, namun juga berlaku kepada setiap orang.


Berita Lainnya :


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar