www.zejournal.mobi
Minggu, 28 April 2024

Orang-orang Kelaparan di Korut: "Kami Hidup di Batas Kematian"

Penulis : Ian Publica News | Editor : Anty | Kamis, 29 Juni 2023 12:15

Pyongyang - Myong Suk berusaha mati-matian untuk bisa menjual obat-obatan secara diam-diam. Ia melakukan percakapan telepon dengan berbisik kepada calon pembeli dari China.

Perempuan Korea Utara yang tinggal di perbatasan dengan China itu menyelundupkan obat-obatan ke Negeri Tirai Bambu. Bukan dalam partai besar, tapi dalam jumlah yang sangat kecil --cukup agar ia dan keluarga bertahan hidup hari ini.

Myong Suk pernah sekali ditangkap petugas dan hampir tidak mampu membayar suap agar bisa keluar dari penjara. Jika tertangkap lagi, tamatlah riwayatnya.

"Sewaktu-waktu bisa saja ada ketukan di pintu. Bukan hanya polisi yang saya takuti, tapi juga tetangga. Sekarang hampir tidak ada orang yang bisa saya percaya," kata Myong Suk kepada BBC, Kamis (25/6). Identitas asli Myong Suk disembunyikan demi keamanan.

Sejak 27 Januari 2020, Korut menutup perbatasannya dengan China menyusul pandemi Covid-19. Pekerja dan diplomat telah berkemas. Pyongyang memerintahkan penjaga untuk menembak siapa pun yang mendekati perbatasan. Negara paling terisolasi di dunia telah menjadi lubang hitam informasi.

"Kami tidak pernah kelaparan seperti saat ini," ujar Myong Suk.

Seperti kebanyakan wanita Korut, Myong Suk adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Para lelaki mendapatkan upah kecil dari negara. Hal itu memaksa para istri untuk menemukan cara kreatif mencari nafkah.

Sebagaimana warga perbatasan, Myong Suk terbiasa bermain-main dalam bahaya di perbatasan. Sekarang ia diawasi terus-menerus.

Setiap pagi, ia hanya bisa menyiapkan sarapan jagung untuk suami dan anak-anaknya. "Lewatlah sudah hari-hari kami bisa makan nasi putih. Tetangga yang lapar sudah mulai mengetuk pintu meminta makanan, tetapi saya harus menolak mereka," kata Myong Suk. “Kami hidup di garis depan kematian,” ujarnya.

Nasib serupa dialami Chan Ho di kota lain di perbatasan Korut-China. Pekerja konstruksi yang keras kepala ini mengalami pagi yang membuatnya frustrasi.

"Saya ingin orang tahu bahwa saya menyesal dilahirkan di negara ini," katanya, curhat.

Setiap pagi, Chan Ho membantu istrinya menyiapkan dagangan ke pasar, sebelum ia sendiri berangkat kerja. Dia harus melakukan itu karena sebagai buruh konstruksi upahnya hanya 4 ribu won, setara Rp 56 ribu, sehari.

Upah itu tidak cukup untuk membeli sekilo beras. Sudah lama keluarganya tidak mendapat jatah makanan dari pemerintah. Pertanian Korut tidak menghasilkan pangan yang cukup untuk memberi makan rakyatnya, mereka kini bergantung pada impor.

"Harga beras, jagung, dan bumbu melambung tinggi," Chan Ho menjelaskan.

Ia semula takut mati karena Covid, tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai khawatir mati kelaparan. Banyak tetangganya yang tewas.

“Saya tidak bisa tidur ketika memikirkan anak-anak saya harus hidup selamanya di neraka tanpa harapan ini," ujanya.

Di ibu kota Pyongyang yang relatif makmur, kondisi Ji Yeon tak lebih baik. Pekerja toko makanan ini harus menghidupi dua anak dan suaminya yang buruh.

Kadang-kadang Ji Yeon mencuri beberapa buah dan sayur dari toko untuk dijual ke pasar. Uang hasil penjualan ia belikan beras. Sekarang tasnya digeledah petugas setiap pulang, ia tak bisa membawa apa-apa untuk keluarganya.

Keluarganya kini hanya makan puljuk, sayuran yang digiling bersama rumput, menjadi pasta. Makanan ini identik dengan masa paling suram dalam sejarah Korut, era 1990-an yang menewaskan 3 juta penduduk karena kelaparan.

Jin Yeon dan keluarga seringkali tidur dengan menahan lapar. "Saya pikir saya akan mati dalam tidur dan tidak bangun di pagi hari,” katanya.

Negeri sosialis paling tertutup di dunia itu tengah menghadapi gagal panen dan penduduk yang kelaparan. Tapi sang pemimpin Kim Jong-un menggertak negara-negara tetangga dengan peluncuran senjata nuklir terbarunya.

Institut Analisis Pertahanan Korea memperkirakan untuk tahun ini, sampai akhir Mei, Korut telah menghabiskan 650 juta dolar AS, setara Rp 9,2 triliun untuk uji coba rudal balistik.

Sementara penduduknya diminta untuk bersabar sambil menahan lapar. Myong Suk, Chan Ho, dan Jin Yeon mengatakan bersabar berarti akan mati kelaparan. Tapi melakukan kegiatan ilegal sekadar bertahan hidup pastilah ditangkap.

“Mencoba bertahan hidup, saya khawatir akan ditangkap, dicap sebagai pengkhianat, dan dibunuh,” kata Chan Ho

"Kami terjebak di sini, menunggu untuk mati," ujar Jin Yeon. Jadi?


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar