www.zejournal.mobi
Jumat, 06 Desember 2024

Berapa Lama Menunggu Mati? Pengungsi Rohingya Tuntut Dipulangkan ke Myanmar

Penulis : Oca Publica News | Editor : Anty | Rabu, 14 Juni 2023 11:28

Dhaka - Jamalida berdiri di podium darurat --dua lembar papan yang ditopang bambu-- di kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh tenggara. Jumat (9/10) pagi, orang-orang yang terusir dari Myanmar menggelar demo menuntut dipulangkan ke tanah air mereka.

Jamalida mengungsi ke Bangladesh pada 16 Oktober 2016. Suaminya dibunuh militer Myanmar, bayinya dilemparkan ke dalam api di depan matanya. Ia bersama empat perempuan lainnya diperkosa beramai-ramai.

Tapi ia tetap ingin pulang. Tujuh tahun hidup di kamp pengungsian di negeri orang, dan tanpa masa depan, membuatnya frustasi. Ia pengungsi 'swadaya', termasuk kloter pertama. Sementara eksodus besar-besaran ke Bangladesh terjadi pada 2017.

"Berapa lama lagi kami tetap tanpa kewarganegaraan? Berapa lama kami akan kehilangan hak asasi manusia universal? Kami tidak ingin lagi. Kami sangat cemas masa depan kami. Kami ingin kembali ke tanah air kami Arakan di Myanmar," kalimatnya berapi-api, seperti ditulis laman Rohingya Khobor, Jumat (9/6).

Sepanjang Kamis hingga Jumat, para pengungsi etnis muslim Rohingya di kamp pengungsian terbesar di dunia itu menuntut dipulangkan ke Myanmar. Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR), ada sekitar satu juta pengungsi Rohingya di kamp Cox's Bazar.

Mereka merasa makin hari makin sulit memenuhi kebutuhan hidup paling dasar. Program Pangan Dunia (WFP) memotong bantuan pangan secara bertahap dari semula 12 dolar AS menjadi 10 dolar, dan per 1 Juni hanya 8 dolar, sekitar Rp 118 ribu, sebulan untuk setiap pengungsi.

Banyak anak-anak kelaparan, bahkan mati. Para pengungsi marah. Mereka menolak belas kasihan PBB lagi. Mereka menganggapnya sebagai penghinaan hidup dengan kurang dari Rp 4 ribu sehari. Padahal pengungsi dilarang mencari pekerjaan.

"Kami tidak menginginkan bantuan makanan dari Anda, berapa lama lagi kami menunggu mati? Kami ingin kembali ke tanah air kami sendiri. Jadi tolong bantu kami untuk repatriasi cepat," kata seorang pemuda Rohingya.

Sepekan sebelum demo, lima anak dan tiga pemuda pengungsi diculik, diduga oleh jaringan perdagangan organ tubuh. Hidup di kamp Cox's Bazar makin tidak aman.

Para pengungsi, tua dan muda, melambai-lambaikan plakat dan meneriakkan slogan-slogan.

“Tidak ada lagi kehidupan pengungsi. Tidak ada pengawasan. Kami ingin repatriasi cepat melalui kartu data UNHCR. Kami ingin kembali ke tanah air kami,” bunyi plakat tersebut.

“Ayo kembali ke Myanmar. Jangan mencoba menghentikan repatriasi,” seru yang lain.

Muhammad Ayaz (35), yang tinggal di kamp pengungsi Teknaf, mendesak komunitas global untuk melindungi mereka dari ancaman militer Myanmar saat kembali nanti. Selama ini tatmadaw, tentara Myanmar, menganggap etnis Rohingya bukan warga negara.

"Kami adalah warga negara Myanmar sejak lahir. Kami ingin pulang dengan semua hak kami, termasuk kewarganegaraan, mata pencaharian, keselamatan, dan keamanan,” katanya kepada kantor berita Anadolu Agency.

Bagi Jamalida, pulang ke Rakhine, Myanmar, berarti harus menghadapi kekejaman militer --itulah alasan mereka mengungsi. Oleh karenanya ia menuntut PBB memulihkan kewarganegaraan para pengungsi sebelum repatriasi.

"Kami mungkin menghadapi penindasan kejam dari militer Myanmar. Tapi di sini pun kami juga menghadapi kematian pelan-pelan. Kami menuntut perlindungan global," Jamalida menegaskan.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar