www.zejournal.mobi
Sabtu, 18 Mei 2024

Akar dan Tunas Radikalisme Agama di Indonesia

Penulis : Nur Hidayati | Editor : Anty | Rabu, 01 Desember 2021 09:00

Ancaman terorisme dan radikalisme di Indonesia adalah fakta yang nyata, banyak yang radikal dan berkomitmen untuk menggunakan kekerasan. 

Meski radikalisme agama berpotensi menimbulkan banyak masalah di masyarakat, namun isu tersebut masih menjadi perdebatan di Indonesia. Sebagian orang percaya radikalisme adalah mitos yang diciptakan oleh “Barat”. Bagi mereka, istilah radikalisme memiliki implikasi negatif untuk mendiskreditkan umat Islam dan menaklukkan Islam. Menurut pandangan ini, pemerintah Barat sering menerapkan standar ganda ketika berurusan dengan umat Islam (Sihbudi, 2002), tulis New Mandala.

Namun, bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, seperti di Bali (2002 dan 2004), Kedutaan Besar Australia (2004), Hotel JW Marriot Jakarta (2009), Cirebon (2010), Surabaya (2018), Mako Brimob Depok (2018) dan beberapa tempat lain membuktikan radikalisme bukanlah mitos. Testimoni dari Ali Imron, salah satu pelaku bom Bali, di mana ia menggambarkan skenario kelompok untuk bom bunuh diri, membuktikan fakta ini.

Ali Imron menjelaskan secara rinci bagaimana kelompoknya membujuk dan merekrut pelaku bom bunuh diri dengan menggunakan mobil, sepeda motor, dan rompi bahan peledak. Ia menyurvei lokasi untuk menemukan di mana orang asing paling sering berkumpul. Dia menegaskan bom Bali adalah serangan balik dalam menanggapi serangan AS dan sekutunya ke Afghanistan. 

Imron menambahkan, kelompoknya bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror di Indonesia. Seperti yang ditegaskan Sidney Jones, ancaman terorisme dan radikalisme di Indonesia adalah fakta yang nyata, meski tidak sedikit yang radikal dan berkomitmen untuk menggunakan kekerasan. 

Ideologi telah berkontribusi pada munculnya radikalisme agama. Beberapa pihak memandangnya sebagai tanggung jawab umat Islam Indonesia untuk bergabung dalam perjuangan mengislamkan pemerintahan dan sistem sekuler. Kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) aktif dan berpengaruh dalam mempromosikan ideologi mereka kepada masyarakat, di bawah perlindungan hak atas kebebasan berekspresi. 

Survei Alvara Research Consulting pada 2017 menemukan, satu dari lima mahasiswa mendukung pembentukan khilafah untuk mengubah sistem pemerintahan Indonesia. Survei terhadap 4.200 mahasiswa Muslim ini menunjukkan hampir satu dari empat mahasiswa siap bergabung dalam perjuangan untuk mendirikan kekhalifahan tersebut.

Ada juga faktor sosial dalam munculnya radikalisme agama di Indonesia. Orang bisa menjadi radikal ketika hidup sebagai kelompok minoritas dan sering mendapat perlakuan diskriminatif dari mayoritas. Muslim yang tinggal di daerah di mana mereka adalah agama minoritas diradikalisasi untuk melakukan kekerasan kepada tetangga Kristen mereka, yang kemudian meningkat ke titik di mana beberapa kelompok menyerukan Muslim lain untuk melakukan perjalanan ke Maluku dan Poso untuk berjihad menyerang orang-orang Kristen.

Faktor politik juga menjadi sumber meningkatnya radikalisme agama di Indonesia. Meskipun para pendiri negara sepakat Indonesia adalah negara agama yang netral dan harus melindungi semua warga negara, beberapa politisi menyangkal hal ini dan mempermainkan identitas agama mereka. 

Beberapa partai dan organisasi keagamaan di Indonesia secara aktif berkampanye melawan kandidat hanya berdasarkan agama mereka, menuntut pemilih untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim. Hal ini telah menjadi masalah serius di Indonesia sejak era reformasi. 

Di beberapa daerah, gubernur dan walikota telah sepakat untuk secara resmi menerapkan perda syariah dalam peraturan daerah untuk meningkatkan kredensial Islam mereka menjelang pemilu. Strategi politik ini dapat memperparah radikalisme agama karena undang-undang memposisikan umat Islam sebagai kelompok mayoritas dengan hak khusus. 

Menggunakan hukum-hukum ini sebagai pembenaran, kelompok agama fanatik sering melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Kelompok-kelompok ini akan semakin radikal karena mereka memiliki lebih banyak ruang dan legitimasi untuk tindakan kekerasan mereka. 

Contohnya ada di Pakistan dan Afghanistan, yang menerapkan peraturan syariah secara kaku. Di kedua negara tersebut, perempuan dan kelompok minoritas menjadi warga negara kelas dua dan didiskriminasi oleh negara dan kelompok radikal.

Media sosial juga sering digunakan untuk menyebarkan informasi palsu yang berkontribusi pada maraknya radikalisme agama. Misalnya, pada Pilgub Jakarta 2017, kelompok radikal pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno menyatakan, umat Islam yang mendukung Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dikategorikan sebagai musuh Islam.

Meski radikalisme dan terorisme tidak bisa disamakan, namun keduanya berkaitan erat. Maarif (2002) dan Ghufron (2017) berpendapat (secara terpisah) radikalisme terkait dengan bagaimana orang memahami dan mengekspresikan agama mereka, dan terorisme berkomitmen untuk menggunakan kekerasan untuk tujuan politik. 

Namun, radikalisme dapat berubah menjadi terorisme, dan orang-orang yang menjadi pengikut kelompok radikal menjadi sasaran perekrut teroris. Akibatnya, jika pemerintah dan masyarakat tidak memberikan perhatian serius kepada kelompok radikal, mereka malah akan bekerja sama dengan kelompok teroris.

Selanjutnya, kelompok teroris menargetkan perekrutan pada generasi muda. Kelompok radikal sering menyebarkan ideologi mereka di sekolah menengah atas dan universitas. 

Baru-baru ini, pihak berwenang menahan beberapa mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta karena diduga terlibat dalam pengeboman dan aksi kekerasan lainnya. Apalagi fenomena pelaku bom bunuh diri di Serpong (2011), terbongkarnya jaringan NII (Negara Islam Indonesia), dan pelaku bom hotel JW Marriot (2009) dan pelaku bom Klaten (2011) menunjukkan pelaku sebagian besar adalah anak-anak muda dari sekolah dan universitas.

Dalam beberapa kasus, kelompok radikal telah menyusup ke universitas dan sekolah. Kelompok radikal juga merekrut generasi muda dari beberapa tempat seperti masjid. Generasi muda menjadi sasaran utama kelompok radikal karena mereka berada dalam masa transisi, sedang membentuk jati diri, dan mudah dipengaruhi oleh orang lain. Mereka rentan terhadap ideologi kelompok radikal yang menggunakan internet sebagai alat propaganda, dilansir dari New Mandala.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar