www.zejournal.mobi
Selasa, 07 Mei 2024

Jual Beli Narkoba Ilegal: Ladang Cuan buat Taliban

Penulis : Purnama Ayu Rizky | Editor : Anty | Jumat, 20 Agustus 2021 09:23

Beberapa pejabat PBB dan AS khawatir jatuhnya Afghanistan ke dalam kekacauan menciptakan kondisi untuk produksi opioid ilegal yang lebih tinggi, yang akan menjadi potensi keuntungan bagi Taliban.?

Amerika Serikat menghabiskan lebih dari US$8 miliar selama 15 tahun dalam berbagai upaya untuk merampas keuntungan perdagangan opium dan heroin Afghanistan dari Taliban, mulai dari pemberantasan opium hingga serangan udara dan penggerebekan di laboratorium narkoba, Reuters melaporkan.

Strategi itu pun akhirnya gagal.

Ketika Amerika Serikat mengakhiri perang terpanjangnya, Afghanistan tetap menjadi pemasok opioid ilegal terbesar di dunia. Tampaknya itu akan tetap demikian ketika Taliban berada di ambang mengambil alih kekuasaan di ibu kota Kabul, menurut para pejabat dan pakar AS saat ini dan mantan serta pejabat dan pakar PBB.

Kehancuran yang meluas selama perang, jutaan orang yang terusir dari rumah mereka, pemotongan bantuan asing, dan kehilangan pengeluaran lokal oleh pasukan asing pimpinan AS yang pergi memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan yang kemungkinan akan membuat banyak orang miskin Afghanistan mengandalkan perdagangan narkotika untuk bertahan hidup.

Ketergantungan itu mengancam akan menghadirkan lebih banyak ketidakstabilan ketika Taliban, kelompok bersenjata lainnya, panglima perang etnis, dan para pejabat publik yang korup saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan narkoba.

Beberapa pejabat PBB dan AS khawatir jatuhnya Afghanistan ke dalam kekacauan menciptakan kondisi untuk produksi opioid ilegal yang lebih tinggi, yang akan menjadi potensi keuntungan bagi Taliban.

“Taliban telah mengandalkan perdagangan opium Afghanistan sebagai salah satu sumber pendapatan utama mereka,” tutur Cesar Gudes, kepala Kantor Narkoba dan Kejahatan PBB (UNODC) di Kabul, kepada Reuters. “Lebih banyak produksi menghasilkan obat-obatan dengan harga yang lebih murah dan lebih menarik, dan dengan demikian aksesibilitas yang lebih luas.”

Dengan militan Taliban memasuki Kabul pada Minggu (15/8), “ini adalah saat-saat terbaik di mana kelompok-kelompok terlarang tersebut cenderung memosisikan diri” untuk memperluas bisnis mereka, tandas Gudes.

Taliban pada 2000 melarang penanaman bunga poppy yang merupakan bahan baku opioid, ketika mereka mengejar legitimasi internasional. Namun, Taliban saat itu menghadapi reaksi keras dan sebagian besar segera mengubah pendirian mereka, menurut para ahli.

Terlepas dari ancaman yang ditimbulkan oleh bisnis obat-obatan terlarang Afghanistan, para ahli mencatat bahwa Amerika Serikat dan negara-negara lain di depan umum jarang menyebutkan perlunya menangani perdagangan narkoba negara itu, yang diperkirakan oleh UNODC lebih dari 80 persen dari pasokan opium dan heroin global.

“Kami telah mengesampingkan dan, sayangnya, membiarkan Taliban mungkin menjadi organisasi yang tidak dilabeli sebagai teroris yang terbesar yang didanai di dunia,” ujar seorang pejabat AS yang mengetahui tentang perdagangan narkoba Afghanistan.

“AS dan mitra-mitra internasional terus menarik diri dan tidak membahas budidaya opium,” kata pejabat yang menolak disebutkan namanya. “Apa yang akan Anda temukan adalah penjualan narkoba itu telah meledak.”

Ketika dimintai komentar, seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan Amerika Serikat akan terus mendukung rakyat Afghanistan, “termasuk upaya kontranarkotika kami yang sedang berlangsung”. Namun, ia menolak mengatakan bagaimana bantuan akan berlanjut jika dukungan AS berhenti saat Taliban merebut kekuasaan.

Lonjakan budidaya bunga poppy

Para petani Afghanistan mempertimbangkan banyak sekali faktor dalam memutuskan berapa banyak bunga poppy yang akan ditanam. Alasannya berkisar mulai dari curah hujan tahunan dan harga gandum yang merupakan tanaman alternatif utama untuk poppy, hingga harga opioid dan heroin dunia.

Namun, bahkan selama kekeringan dan kekurangan gandum, ketika harga gandum meroket, para petani Afghanistan telah menanam poppy dan mengekstrak getah opium yang disuling menjadi morfin dan heroin. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang memasang panel surya buatan China untuk memberi daya pada sumur air dalam.

Tiga dari empat tahun terakhir telah mencatat beberapa tingkat produksi opium tertinggi di Afghanistan, menurut UNODC. Bahkan ketika pandemi COVID-19 berkecamuk, penanaman poppy melonjak 37 persen tahun lalu, menurut laporan UNODC pada Mei 2021.

Narkotika gelap adalah “industri terbesar di negara itu selain perang”, kata Barnett Rubin, mantan penasihat Departemen Luar Negeri AS di Afghanistan.

Perkiraan produksi opium tertinggi sepanjang masa ditetapkan pada 2017 sebesar 9.900 ton senilai sekitar US$1,4 miliar dalam penjualan oleh petani atau sekitar 7 persen dari PDB Afghanistan, UNODC melaporkan.

Ketika nilai obat-obatan untuk ekspor dan konsumsi lokal diperhitungkan, bersama dengan bahan kimia prekursor yang diimpor, UNODC memperkirakan keseluruhan ekonomi opioid ilegal negara itu tahun itu sebanyak US$6,6 miliar.

Taliban dan para pejabat publik telah lama terlibat dalam perdagangan narkotika, menurut para ahli, meskipun beberapa pihak memperdebatkan sejauh mana peran dan keuntungan pemberontak.

PBB dan Amerika Serikat berpendapat Taliban terlibat dalam semua aspek, mulai dari penanaman poppy, ekstraksi opium, perdagangan, menuntut “pajak” dari penggarap dan laboratorium obat-obatan, hingga membebankan biaya penyelundup untuk pengiriman menuju Afrika, Eropa, Kanada, Rusia, Timur Tengah, dan berbagai wilayah Asia.

Beberapa dari pengiriman itu dijejalkan melintasi perbatasan yang dijaga ketat ke para penyelundup di Iran dengan ketapel sederhana, lapor David Mansfield, peneliti terkemuka dalam perdagangan obat-obatan terlarang di Afghanistan.

Paa pejabat PBB melaporkan, Taliban kemungkinan memperoleh lebih dari US$400 juta antara 2018 dan 2019 dari perdagangan narkoba. Laporan Inspektur Jenderal Khusus AS untuk Afghanistan (SIGAR) pada Mei 2021 mengutip seorang pejabat AS yang memperkirakan Taliban memperoleh hingga 60 persen dari pendapatan tahunan mereka dari narkotika gelap.

Beberapa ahli membantah data itu.

Mansfield mengatakan studi lapangannya menunjukkan sebagian besar yang dapat diperoleh Taliban dari opioid ilegal adalah sekitar US$40 juta per tahun, terutama dari pungutan atas produksi opium, laboratorium heroin, dan pengiriman obat-obatan.

Para pemberontak, katanya, menghasilkan lebih banyak uang dengan menuntut biaya impor dan ekspor legal di pos pemeriksaan pinggir jalan.

AS menghabiskan sekitar US$8,6 miliar antara 2002 dan 2017 untuk membatasi perdagangan narkoba Afghanistan untuk merampas keuntungan Taliban, menurut laporan SIGAR pada 2018. Terlepas dari pemberantasan opium, Amerika Serikat dan para sekutunya mendukung serangan penggerebekandan program tanaman alternatif, serangan udara di terduga laboratorium heroin, maupun tindakan lainnya.

Berbagai upaya itu “tidak terlalu berhasil”, menurut pernyataan pensiunan Jenderal Angkatan Darat AS Joseph Votel, yang memimpin Komando Pusat AS dari 2016-2019, kepada Reuters.


Berita Lainnya :

Sebaliknya, para ahli mengatakan, semua itu memicu kemarahan terhadap pemerintah di Kabul dan pendukung asingnya serta menghasilkan simpati untuk Taliban di kalangan petani dan buruh yang bergantung pada produksi opium untuk menafkahi keluarga mereka.

Taliban belajar pelajaran itu dari larangan mereka atas penanaman bunga poppy pada 2000, menurut peneliti Vanda Felbab-Brown dari Brookings Institution yang berbasis di Washingotn, D.C., Amerika Serikat.

Meskipun ada penurunan tajam dalam produksi, larangan itu memicu “badai politik besar terhadap Taliban dan itu adalah salah satu alasan mengapa ada pembelotan dramatis setelah invasi AS”, kata Felbab-Brown.

Oleh karena itu, para ahli mengatakan, tidak mungkin Taliban akan melarang penanaman poppy jika mereka mendapatkan kekuasaan.

“Pemerintah Afghanistan di masa depan,” tandas Mansfield, “harus melangkah dengan hati-hati untuk menghindari mengasingkan daerah pemilihan pedesaan serta menghindari memprovokasi perlawanan dan pemberontakan dengan kekerasan.”


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar