Generasi Baru Anak Yatim Korban Keganasan COVID-19
Seiring angka kematian COVID-19 di Indonesia meningkat, terlalu banyak anak kecil yang kehilangan orang tua mereka.
Di sebuah pemakaman di Kalimantan Timur, Arga (13 tahun) berdiri di depan makam orang tuanya, mengenakan jas hazmat, catat Al Jazeera.
Kerabat telah berkumpul di sekitar kuburan untuk pemakaman ibunya. Wajah Arga tertutup, tapi suaranya mengungkapkan kesedihannya. Bergetar saat dia mengumandangkan adzan.
Kedua orang tuanya meninggal karena COVID-19. Mereka dimakamkan di samping satu sama lain.
Arga tinggal di sebuah pesantren, dan orang tuanya sering mengiriminya bingkisan makanan buatan sendiri.
Namun ketika paket berhenti datang, Arga curiga ada yang tidak beres, dan dia menulis surat kepada ibunya.
“Apakah ibu sakit? Hubungi saya kalau ibu baik-baik saja. Jangan lupa banyak kena sinar matahari,” tulisnya, disadur dari Al Jazeera.
“Saya sehat di sini, jangan khawatir tentang saya. Saya memiliki Rp133.000 di rekening bank saya, itu cukup bagi saya.”
Ibunya tidak pernah punya kesempatan untuk membuka surat itu.
“Ayahnya meninggal pada Kamis, dan dia tidak tahu, karena kami tidak memberi tahu dia. Lalu pada Sabtu ibunya meninggal juga,” ucap Leo Nita, bibi Arga.
“Tidak ada yang mau memberitahunya. Tapi kakak laki-lakinya bersikeras bahwa kita harus melakukannya.”
Kakak laki-laki Arga yang berusia 17 tahun tidak dapat menghadiri pemakaman karena dia juga dinyatakan positif terkena virus. Tetapi sekarang setelah dia pulih, semua bergantung pada dia dan Arga untuk memikirkan masa depan untuk diri mereka sendiri dan dua adik mereka yang berusia sembilan dan empat tahun.
Para kerabat mengenakan masker menatap makam korban COVID-19 dari kejauhan di tanah pekuburan yang disiapkan pemerintah di Jakarta, Indonesia. (Foto: Reuters)
‘MENGAPA ORANG TUA SAYA MENINGGALKAN SAYA BEGITU CEPAT?’
Di seluruh Indonesia, seiring dengan berlanjutnya krisis kesehatan akibat COVID-19, semakin banyak anak yang menghadapi trauma dan kesedihan seperti Arga.
Alviano (10 tahun) yang juga berada di Kalimantan Timur, baru saja menerima alat pancing baru sebagai hadiah dari teman ayahnya.
Saat dia merangkai tongkat, dia mengenang ayahnya.
“Saya suka memancing. Saya sering pergi memancing dengan ayah saya ketika dia selesai bekerja,” ucapnya, dikutip Al Jazeera. “Beberapa ikan sebesar pahanya. Terkadang kami pergi memancing udang.”
Dua minggu lalu, ibunya meninggal di rumah sakit karena COVID-19. Dia hamil lima bulan. Keesokan harinya, ayahnya meninggal juga.
“Dia berkata, mengapa orang tua saya meninggalkan saya begitu cepat? Kami berusaha kuat untuknya, tetapi itu menghancurkan kami,” ucap Margono, paman Alviano.
Selama dua minggu, Alviano juga positif COVID-19, dan selama itu ia harus hidup sendiri.
Kerabat dan teman-teman keluarga tidur di luar di teras, sehingga dia tidak merasa kesepian.
“Dia akan melihat ke luar jendela dan melihat kami. Banyak teman dan keluarganya sedang tidur di luar. Jadi dia tidak merasa sendiri,” tutur Margono.
Pada Selasa (3/8), Alviano akan pindah bersama kakek dan neneknya yang tinggal di luar pulau Jawa.
‘DAMPAKNYA SANGAT MEMPRIHATINKAN’
Organisasi hak anak telah mencatat bahwa pekerja sosial di seluruh negeri melaporkan peningkatan anak yatim piatu.
Dino Satria dari Save the Children Indonesia mengatakan, sulit untuk mengetahui secara pasti berapa banyak anak yang kehilangan orang tua mereka, karena tingkat pengujian COVID-19 di Indonesia yang rendah dan pengumpulan data yang tidak memadai, lapor Al Jazeera.
“Kami tidak memiliki data pasti, tetapi ada kasus di mana anak-anak tidak memiliki siapa pun untuk mendukung mereka. Mereka tidak punya keluarga besar atau siapa pun yang bisa merawat mereka,” katanya.
Satria mengkhawatirkan anak-anak yang kehilangan bantuan karena kematian orang tua mereka tidak dilaporkan.
“Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat sistem pendukung di tingkat masyarakat, di mana kami dapat mengumpulkan informasi itu karena saat ini kami tidak memiliki informasi itu,” imbuhnya.
“Juga, informasinya tidak spesifik. Misalnya, selama COVID-19, informasi yang kami miliki adalah bahwa seseorang meninggal. Kami tidak tahu lebih banyak tentang mereka, apakah mereka memiliki anak atau tidak.”
Kementerian Sosial Indonesia telah lama meminta rumah sakit untuk mencatat informasi tentang anggota keluarga pasien mereka, sehingga pengaturan dapat dibuat untuk anak-anak mereka jika diperlukan.
Tetapi karena rumah sakit di Indonesia telah dibatasi oleh COVID-19, dan kematian di rumah meningkat, lebih sulit untuk menemukan dan mendukung anak-anak yang membutuhkan.
“Masalahnya, prosesnya belum berjalan dengan baik. Kasus COVID-19 meningkat secara signifikan. Yang kami miliki sekarang hanya data parsial dan belum terlalu sistematis,” terang Kanya Eka Santi, Direktur Rehabilitasi Anak Kementerian Sosial kepada Al Jazeera.
Santi mengatakan, semakin sulit mencari rumah untuk anak-anak yang membutuhkan, karena banyak rumah tangga mengalami kesulitan ekonomi akibat pembatasan COVID-19.
“Ada yang tidak mau menerima anak itu karena tidak mampu, walaupun itu cucunya sendiri,” ucapnya.
“Selama COVID-19, situasi keuangan semakin sulit. Beberapa orang bahkan kesulitan mendapatkan makanan, jadi jika kami meminta mereka untuk merawat anak, itu bahkan lebih sulit.”
Santi mengatakan, mengirim anak ke panti asuhan adalah pilihan terakhir.
“Ketika keluarga besar tidak bisa melakukannya, opsi selanjutnya adalah asuh, perwalian, atau adopsi,” katanya.
“Kami memiliki lebih banyak masalah ketika seorang anak tidak memiliki kerabat dan tidak memiliki tempat untuk tinggal.”
‘SAYA PIKIR DIA SEDANG TIDUR’
Aisyah (10 tahun) adalah salah satu anak di panti asuhan di Tangerang, di pinggiran ibu kota Indonesia.
Enam bulan lalu, ibunda Aisyah meninggal karena COVID-19. Kenangan terakhirnya tentang ibunya adalah halusinasi dan kesulitan bernapas.
“Tidak lama setelah itu, dia diam. Saya pikir dia sedang tidur. Saat saya coba membangunkannya, dia tidak bangun,” ungkap Aisyah.
“Saat itu, saya tidak tahu ibu saya telah meninggal.”
Ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Setelah kematian ibunya, dia pindah dengan keluarga seorang pekerja sosial.
Sejauh ini, tidak ada kerabat Aisyah yang mengunjungi atau menghubungi keluarga.
“Saya senang Aisyah ada di sini. Saya mencintainya, saya tidak membedakannya dari anak-anak saya. Alhamdulillah, dia menerima kami dan dia mencintai kami,” ucap Rinamelda, ibu angkat Aisyah.
“Saya ingin Aisyah tetap di sini dan meraih mimpinya.”
Dengan bantuan keluarga angkatnya, Aisyah sudah mulai kembali ke kehidupan normalnya, catat Al Jazeera.
Dia senang bermain dengan anak-anak lain di daerah itu dan mendengarkan lagu girlband asal Korea Selatan, Blackpink.
“Saat saya isolasi COVID-19, ya, sekolah saya terganggu. Tapi begitu saya datang ke sini, saya mulai sekolah lagi,” kata Aisyah.
Sekarang dia berharap untuk masa depan di mana dia bisa menghormati kehidupan ibunya.
“Saya memiliki impian, saya ingin mencapainya sehingga ibu saya bangga pada saya. Saya ingin menjadi dokter.”
- Source : www.matamatapolitik.com
