www.zejournal.mobi
Selasa, 30 April 2024

Ngerinya Krisis Lebanon: Antre Bensin hingga Makanan dan Obat Langka

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Rabu, 07 Juli 2021 17:21

Bank Dunia mengatakan, krisis Lebanon dapat menempati peringkat tiga terburuk di dunia sejak pertengahan 1800-an. Mata uang telah kehilangan lebih dari 90 persen nilainya dan pengangguran telah meroket.

Saat dia duduk di bawah sinar matahari di Mini Cooper-nya yang beringsut melewati barisan panjang mobil untuk mendapatkan bensin, Lynn Husami (23 tahun) mencoba menggunakan waktunya dengan baik. Dia mengadakan pertemuan telepon dengan penasihat tesis masternya, menelepon seorang teman lama, dan bermain video game di Nintendo Switch-nya.

Setelah empat jam, kenangnya, dia masih belum sampai di pom bensin, basah kuyup karena keringat dan butuh kamar mandi. Tapi dia takut kehilangan tempatnya dalam antrean jika dia pergi mencarinya.

“Saya putus asa. Saya marah. Saya frustrasi,” ucapnya kepada The New York Times, menyimpulkan perasaan banyak orang Lebanon tentang keruntuhan keuangan yang telah mengubah tugas rutin menjadi mimpi buruk, yang mengisi hari-hari mereka dan mengosongkan dompet mereka.

“Ini semakin buruk, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tidak tahu bagaimana kita bisa memperbaiki semua ini.”

Lebanon menderita krisis keuangan yang menurut Bank Dunia dapat menempati peringkat tiga terburuk di dunia sejak pertengahan 1800-an, dalam hal pengaruhnya terhadap standar hidup. Mata uangnya telah kehilangan lebih dari 90 persen nilainya sejak musim gugur 2019, dan pengangguran meroket karena bisnis tutup. Barang-barang impor yang dulunya biasa-biasa saja menjadi langka.

Pukulan ganda dari pandemi dan ledakan besar di pelabuhan Beirut hampir setahun yang lalu (yang menewaskan sekitar 200 orang dan merusak ibu kota) telah membuat situasi yang sudah buruk menjadi jauh lebih buruk.

Krisis tersebut mengancam akan menambah ketidakstabilan negara di Timur Tengah ini, yang pernah menjadi pusat budaya dan keuangan dan sekarang menampung setidaknya satu juta pengungsi dari negara tetangga Suriah. Lebanon juga membentuk front aktif dalam perebutan pengaruh regional antara Iran dan Israel serta Barat.

Di dalam Lebanon, krisis telah menciptakan perasaan yang berbeda bahwa negara itu akan runtuh, seiring semua orang kecuali yang terkaya menghabiskan hari-hari mereka berkeringat karena sering mati listrik, mengantre di pom bensin, dan berlari dari apotek ke apotek untuk mencari obat-obatan yang telah hilang dari rak.

Produk domestik bruto negara Mediterania kecil berpenduduk sekitar enam juta orang itu anjlok sekitar 40 persen, menjadi US$33 miliar tahun lalu, dari US$55 miliar pada 2018, setahun penuh terakhir sebelum krisis dimulai, ungkap Bank Dunia. Pendapatan per kapita juga turun dengan persentase yang sama selama periode itu, membuat lebih dari separuh penduduk miskin.

Kontraksi ekonomi yang parah seperti itu biasanya “dikaitkan dengan konflik atau perang,” menurut Bank Dunia pada 31 Mei. Tetapi krisis Lebanon disebabkan oleh pengeluaran defisit yang ekstensif oleh pemerintah yang membuatnya terlilit utang, dan oleh kebijakan moneter yang tidak berkelanjutan yang akhirnya runtuh, meninggalkan bank sebagian besar bangkrut dan nilai mata uang terjun.

Sejauh ini, sistem politik negara yang kacau telah gagal untuk menawarkan lebih dari sekadar solusi untuk krisis apa pun yang tampaknya paling mendesak: menaikkan harga roti bersubsidi, mengurangi produksi listrik, dan mensubsidi impor bahan bakar, obat-obatan, dan biji-bijian sekitar US$500 juta per bulan dari cadangan bank sentral yang semakin menipis.

Pekan lalu, Parlemen mengesahkan undang-undang untuk membelanjakan US$556 juta untuk program kartu jatah bagi keluarga miskin, meskipun masih belum jelas bagaimana cara kerjanya dan bagaimana negara akan membayarnya, catat The New York Times.

Kabinet mengundurkan diri hampir setahun yang lalu setelah ledakan pelabuhan Beirut. Tetapi mereka terus bertugas dalam kapasitas sementara, yang menurut para anggotanya tidak memberi mereka wewenang untuk membuat keputusan kebijakan menyeluruh, seiring partai-partai politik negara itu bertengkar tentang susunan pemerintahan baru.

Saat mengumumkan pengunduran diri kabinetnya Agustus lalu, perdana menteri sementara, Hassan Diab, menyalahkan banyak masalah Lebanon pada “sistem korupsi” yang tidak hanya “berakar dalam di semua fungsi negara,” tetapi pada kenyataannya “lebih besar daripada negara”, dan begitu kuat sehingga negara “tidak dapat menghadapi atau menyingkirkannya.”

Seiring krisis semakin cepat, warga Lebanon telah dipaksa untuk beradaptasi dengan cara yang menyakitkan: menaiki tangga karena lift kekurangan listrik, memotong daging, atau melongkap makan karena harga pangan melonjak, dan menghabiskan sebagian besar hari mereka hanya untuk membuat mobil mereka tetap bergerak.

Pada suatu hari baru-baru ini, Saad al-Din Dimasi (45 tahun) meninggalkan mobilnya dalam posisi netral dan mendorongnya melewati antrean panjang di luar pompa bensin Beirut, untuk menghemat sebanyak mungkin bahan bakarnya yang langka. Dia telah mengambil istirahat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan sepatu lokal untuk mendapatkan bensin, dan terjebak dalam antrean begitu lama sehingga dia sekarang terlambat kembali bekerja.

Rambut abu-abu dan celana jinsnya kusut karena keringat, dan dia mengenakan tank top putih untuk mencoba tetap dingin. Tapi kekhawatirannya tidak berakhir di pom bensin.

Rumahnya hanya memiliki beberapa jam sehari jaringan listrik, dan dia hanya mampu membeli beberapa jam lagi dari generator pribadi, tidak cukup untuk melewati malam musim panas yang lembab.

“Begitu AC mati, nyamuk datang dan kemudian panas,” tuturnya kepada The New York Times.

Itu membuatnya lelah di tempat kerja, di mana gaji bulanannya sebesar 1,2 juta pound Lebanon, yang sebelumnya bernilai US$800 (sekitar Rp11,6 juta) sebelum krisis, kini bernilai kurang dari US$80 (sekitar Rp1,16 juta).

Saat berbicara tentang tekanan keuangan pada istri dan dua anaknya yang masih remaja, dia tersedak.

“Jika anak saya meminta sesuatu dan saya tidak bisa memberikannya, saya tidak bisa menghadapinya,” katanya.

Setiap orang yang mengantre memiliki kesengsaraan yang sama: seorang guru sekolah menengah yang telah bekerja selama 41 tahun, mendapatkan pensiun yang hampir tidak berharga; seorang sopir taksi berusia 70 tahun yang takut mobilnya membutuhkan perbaikan yang tidak mampu ia bayar; seorang insinyur listrik yang berpendidikan Uni Soviet yang ingat mengantre bensin di sana dan sangat marah karena dia sekarang harus melakukannya di negaranya sendiri.

Mereka yang memiliki paspor asing atau keterampilan yang dapat dipasarkan, bergegas meninggalkan negara itu secepat mungkin, catat The New York Times.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar