www.zejournal.mobi
Sabtu, 04 Mei 2024

Dibully Fans Khalid Basalamah, Gus Miftah Kena Mental Dan Minta Maaf

Penulis : Jaya Wijaya | Editor : Anty | Rabu, 02 Maret 2022 09:00

Berbicara soal kasus intoleransi dan radikalisme di Indonesia memang rumit dan banyak faktor yang mempengaruhi. Jadi kita tidak bisa hanya menyalahkan beberapa orang atau kelompok masyarakat, kalau sampai saat ini masalah radikalisme belum bisa teratasi.

Penulis melihat banyak masyarakat juga yang belum paham apa itu radikalisme. Sehingga ketika para kaum radikal memainkan narasi dengan pura-pura bertanya apa itu radikalisme, masih banyak masyarakat kita yang kebingungan menjawabnya.

Di tengah kebingungan tersebut, kaum radikal langsung membuat kesimpulan kalau fanatik terhadap agama tertentu bukanlah termasuk radikalisme. Ini adalah pemahaman yang sedikit benar, tapi banyak salahnya. Penulis akan coba menjelaskan secara singkat dengan bahasa awam.

Menurut KBBI, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kaum radikal langsung membuat kesimpulan kalau radikalisme adalah soal politik, tidak ada hubungannya dengan agama.

Mereka pura-pura bego kalau agama manapun juga bisa digunakan untuk kepentingan politik. Contoh ketika ada kelompok yang menginginkan merubah pancasila dengan khilafah dengan cara kekerasan, maka itulah yang disebut radikalisme.

Jadi ketika ada kelompok seperti HTI yang menyerukan kepada TNI kudeta kekuasaan, dengan tujuan mengganti pancasila dengan khilafah melalui cara kekerasan, maka itulah yang dinamakan radikalisme.

Fanatik agama memang belum tentu radikal, tapi ketika ada kelompok yang karena fanatismenya ingin menjadikan hukum agama versinya sebagai sistem baru mengganti sistem lama, bahkan dengan jalan kekerasan, maka itu juga merupakan radikalisme.

Apakah ada radikal yang tidak berhubungan dengan agama? Ya ada, PKI contohnya, tapi karena tidak menggunakan dalil agama sehingga di Indonesia kurang laku dan pasarnya terbatas. Indonesia kan agamis dengan penduduk mayoritas muslim, sama dengan India cuma bedanya di sana mayoritas Hindu.

Jadi radikalisme adalah fakta bukan hanya bualan radikal radikul seperti kata kadrun, dan tentunya nyata terjadi. Penyerangan mabes polri, bom bunuh diri gereja, bom Borobudur, bom Bali, adalah contoh nyata tindakan radikalisme yang terjadi di tanah air. Tujuannya ingin mengganti dasar negara pancasila yang dianggap thogut dengan khilafah.

Akar radikalisme adalah sifat intoleran, karena untuk menimbulkan sikap radikal, diperlukan sikap untuk menganggap segala hal di luar kelompoknya adalah buruk (haram, musyrik), baru perlahan dari situ muncul keinginan untuk menghancurkan yang dianggap buruk tersebut. Kasus penendang sesajen adalah contoh intoleransi, sesajen harus dimusnahkan karena tidak sesuai dengan yang diyakini si pelaku.

Inilah mengapa Said Aqil menyebut kalau ajaran Wahabi adalah akar radikalisme. Karena segala sesuatu di luar kelompoknya dianggap buruk, haram, hingga ketika mereka memiliki kekuatan yang cukup, mereka akan memusnahkan semua yang katanya haram tersebut, bahkan dengan jalan kekerasan.

Kembali ke pembahasan awal, apa saja faktor yang membuat radikalisme di Indonesia masih belum selesai? Ini ada banyak faktor, beberapa yang nyata kita lihat hari-hari ini antara lain.

  • Kelompok SJW yang mendukung agenda para kaum intoleran saat sesuai kepentingan mereka. Contoh saat kasus Edi Mulyadi, para SJW ini membela dengan alasan penebangan hutan, pohon dan alasan merusak lingkungan.
  • Domba Gurun naif seperti Noel dan Nicho Silalahi. Noel ketua Jokowi Mania ini bahkan menggunakan alasan kasih, yang merupakan ajaran kristen. Domba Gurun begitu naif, dikira dengan mengasihi para radikal maka mereka akan bertobat. Yang ada begitu mereka berkuasa, para Domba Gurun ini akan dianggap warga kelas dua, kafir harbi yang kapanpun bisa kehilangan nyawa.
  • Barisan sakit hati seperti Rocky Gerung, Sudjiwo Tedjo, Pandji Pragiwaksono. Mereka yang mengaku penuh logika, liberal dan bekerja sama dengan kaum radikal, maka mereka yang pertama akan dicukur lehernya ketika kaum radikal berkuasa.
  • Minoritas caper seperti Lieus Sungkharisma yang baru-baru ini mengarang cerita. Dia bercerita kalau FPI adalah penyelamat dia saat kerusuhan Mei 1998, padahal FPI baru ada bulan Agustus.

Nah selain hal di atas ada satu pelajaran berharga yang penulis pelajari dari kasus Gus Miftah. Hal ini adalah faktor utama penyebab sulitnya memberantas intoleransi dan radikalisme.

Yaitu ketika mereka yang dianggap sebagai moderat dan menyebarkan agama secara damai, ternyata kalah ketika adu dalil dengan mereka yang suka mengharamkan segala sesuatu, bahkan menggunakan kekerasan ketika sudah memiliki kekuatan yang cukup.

Jadi tidak semua yang moderat ini hanya menjadi silent majority, atau menjadi pihak yang mencoba denial (menyebut oknum) ketika ada yang seagama dengan mereka bertindak intoleran dan radikal. Tapi karena mereka kalah ketika adu dalil dengan kelompok yang dituduh oknum oleh para moderat ini.

Maka penulis ragu, ketika para moderat ini debat dengan yang mereka anggap oknum. Jangan-jangan ilmu agama mereka masih kalah dengan para oknum tersebut. Katakanlah oknum tersebut Abu Bakar Baasyir yang sampai saat ini proses deradikalisasi dirinya gagal.

Dari kasus Gus Miftah yang mencoba membela wayang dengan mengadakan nanggap wayang tergambar jelas semua ini. Dimana Gus Miftah dan sang dalang, pada akhirnya meminta maaf karena kena mental dibully oleh fans Khalid Basalamah di medsos yang bersangkutan.

Gus Miftah yang membela wayang, malah berbalik dianggap sebagai pelaku kejahatan karena acara wayang di pesantrennya yang mempertunjukan aksi Baladewa menghajar wayang Basalamah. Hanya dengan dua jurus (dalil), fans Khalid Basalamah membuat Gus Miftah minta maaf karena kena mental, dan para pendukungnya tidak berkutik.

Pertama, apakah wayang akan menyelamatkanmu dan memberi syafaat di akhirat? Kedua, yang ditanya di akhirat adalah siapa Tuhanmu, siapa Nabimu dan apa Agamamu, bukan apa wayangmu!!

Dengan dua jurus tersebut maka Gus Miftah dan sang dalang kena mental, lalu akhirnya minta maaf. Ini hanyalah salah satu sekelumit masalah yang menjadi contoh kenapa intoleransi dan radikalisme di Indonesia masih sulit diatasi.


Berita Lainnya :


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar