www.zejournal.mobi
Senin, 06 Mei 2024

Bantu Tangani COVID-19, Orang Tajir Indonesia Wajib Nombok Pajak 35%

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Selasa, 10 Agustus 2021 18:03

Dalam upaya untuk meningkatkan kas pemerintah yang hancur akibat pandemi COVID-19, Indonesia sedang mempertimbangkan perombakan pajak secara menyeluruh, yang akan menambah PPN pada bahan sembako, pendidikan, dan perawatan kesehatan, menaikkan pajak untuk individu berpenghasilan tinggi, dan menargetkan penghasil emisi karbon utama.

Presiden Indonesia Joko Widodo baru-baru ini meminta parlemen untuk membahas proposal untuk mengubah undang-undang 1983 tentang ketentuan dan prosedur umum perpajakan.

Draf proposal pemerintah yang bocor menunjukkan pihaknya mencari tarif pajak baru untuk penerima tertinggi; pajak karbon baru; dan memperluas cakupan PPN untuk mencakup makanan pokok, pendidikan, layanan kesehatan dan sosial, transportasi umum, tenaga kerja, wesel pos, dan bahkan telepon umum yang dioperasikan dengan koin, lapor South China Morning Post.

Kebutuhan Indonesia untuk mengumpulkan lebih banyak pendapatan datang setelah defisit anggaran mencapai 6,09 persen dari PDB tahun lalu. Jakarta telah membiarkan defisit tumbuh sebagai tanggapan terhadap pandemi, tetapi mengatakan akan mengembalikan defisit ke dalam batas legal 3 persen dari PDB pada 2023.

Pemerintah berharap jika reformasi pajak berjalan sesuai rencana tahun depan, tidak perlu lagi mencari utang luar negeri yang sudah mencapai US$418 miliar per April.

Kunci dari rencananya adalah, menaikkan tarif pajak penghasilan bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, yang didefinisikan sebagai mereka yang berpenghasilan tahunan setidaknya Rp5 miliar. Pembayar pajak Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok pajak, mulai dari tarif 5 persen hingga 30 persen.

Sebagai perbandingan, Singapura juga menerapkan tarif pajak penghasilan progresif, mulai dari 0 persen hingga 22 persen, sementara tarif Malaysia antara 0 persen hingga 30 persen, dan Hong Kong berkisar antara 2 persen hingga 17 persen.

Di bawah amandemen yang diusulkan, penerima tertinggi akan dikenakan pajak 35%, lima persen lebih tinggi dari saat ini.

Pada saat yang sama, Indonesia berencana untuk meluncurkan kembali program pengampunan pajak yang pertama kali diperkenalkan pada 2016, untuk memungkinkan orang kaya mengungkapkan aset mereka yang tidak diumumkan dan melunasi pajak mereka tanpa hukuman.

Ketika program ini pertama kali diperkenalkan, sekitar Rp4,813 triliun dalam aset yang tidak diumumkan terungkap.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif di Center of Economic and Law Studies yang berbasis di Jakarta, atau Celios, mengatakan, tingkat baru untuk penerima penghasilan tertinggi harus lebih tinggi lagi.

“Pemerintah harus mengenakan tarif pajak antara 40 persen hingga 45 persen. Kalau hanya naik lima persen saja tidak cukup,” tutur Bima kepada South China Morning Post. “Ini adalah langkah yang bagus, tetapi pemantauannya akan sedikit rumit.”

Bhima mengatakan, masih ada banyak trik yang bisa digunakan orang kaya untuk menghindari pajak, seperti transaksi lintas batas, mencatat bahwa praktik semacam itu tidak berhenti setelah amnesti pajak 2016. Ia mengatakan, banyak orang kaya yang tidak memiliki NPWP bahkan ada yang mengubah kewarganegaraannya untuk menghindari pajak.

Menagih pajak kepada orang kaya dapat membuktikan jalan yang menguntungkan bagi ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini, yang menurut beberapa perkiraan akan memiliki lonjakan terbesar pada individu-individu dengan kekayaan bersih tinggi di dunia, bahkan lebih dari China.

Wealth Report 2021 (yang dirilis oleh konsultan Knight Frank yang berbasis di London pada Maret) memproyeksikan, jumlah individu dengan kekayaan sangat tinggi (atau mereka yang memiliki kekayaan bersih lebih dari US$30 juta) di Indonesia akan meningkat 67 persen per tahun dari 2021 hingga 2025.

Sebuah studi oleh MGM Research pada 2019 memperkirakan, ada 756 orang Indonesia dengan kekayaan bersih lebih dari US$30 juta, dan 401 di antaranya tinggal di Jakarta.

Menurut Lembaga Penjamin Simpanan, menambahkan total kekayaan semua orang Indonesia yang memiliki setidaknya Rp5 miliar di bank akan mencapai Rp432,96 triliun pada April, meningkat hampir 15 persen dari tahun sebelumnya dan peningkatan terbesar dari setiap tingkat setoran.

Tumpukan uang kertas Rupiah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

PAJAK SEMBAKO

Jakarta juga mengusulkan untuk menambahkan PPN untuk sembako seperti beras, jagung, kedelai, garam, daging, dan telur menggunakan sistem multi-tarif mulai dari 5 persen hingga 25 persen, dan untuk meningkatkan tarif standar PPN saat ini sebesar 10 persen menjadi 12 persen, menurut draft yang bocor.

Selain itu, tarif baru 12 persen akan dikenakan pada barang-barang yang saat ini tidak dikenakan PPN, seperti biaya sekolah dan layanan perawatan kesehatan.

Para ekonom umumnya setuju bahwa Indonesia perlu mereformasi kebijakannya untuk meningkatkan basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.

Pendapatan pajak hanya menyumbang 8,94 persen dari PDB Indonesia tahun lalu, turun dari 10,73 persen pada 2019, mengikuti tren beberapa tahun terakhir. Menurut Bank Dunia, rasio pajak Indonesia lebih rendah dari rata-rata negara berkembang sebesar 27,8 persen, catat South China Morning Post.

Namun, usulan pelebaran PPN untuk memasukkan sembako, pendidikan, dan perawatan kesehatan kontroversial.

Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang berbasis di Jakarta, mengatakan, hal itu menggarisbawahi ketidakpekaan pemerintah terhadap penurunan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh pandemi.

“Kebijakan pajak baru ini bisa mempengaruhi daya beli masyarakat, makanya sekarang resistensinya cukup tinggi,” ujarnya kepada South China Morning Post.

Memang, publik telah menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan lantang dan jelas. Pengguna Twitter Hilmi Firdausi meminta pemerintah mempertimbangkan kembali.

“Orang-orang dalam kesulitan karena pandemi, tolong jangan ditambah dengan menaikkan harga makanan. Itu akan membuat segalanya lebih sulit bagi kelas bawah. Tolong dengarkan kami,” cuit Hilmi.

Menanggapi kontroversi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengunggah video pada 14 Juni saat dia mengunjungi pasar tradisional di Jakarta Selatan, di mana dia mengobrol dengan seorang pedagang kelontong bernama Rahayu. Pedagang kelontong bertanya apakah benar dia harus mengenakan PPN atas barang belanjaannya di masa depan.

“Saya menjelaskan kepadanya bahwa pemerintah tidak akan mengenakan pajak pada makanan yang dijual di pasar tradisional, yang merupakan kebutuhan masyarakat umum,” tulisnya dalam keterangan foto.

Pajak akan dikenakan pada makanan “premium” seperti beras basmati dan shirataki, serta daging sapi Wagyu, “yang harganya bisa mencapai 10 hingga 15 kali lipat dari daging sapi biasa,” katanya, tanpa merinci apa yang merupakan produk “premium” .

Namun Enny dari Indef memperingatkan, jika pajak dikenakan pada makanan premium, produk tersebut akan “digantikan dengan makanan impor, yang dapat dibebaskan dari bea masuk berdasarkan perjanjian perdagangan bebas yang berlaku”.

Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Australia, Selandia Baru, Jepang, dan China, antara lain.

“Empat puluh persen masyarakat berada di kelas ekonomi bawah dan akan dirugikan oleh kenaikan harga bahan sembako. Sebanyak 40 persen lainnya, kelas menengah, juga akan terpengaruh karena pengeluaran harian kelas menengah Indonesia hanya Rp70 ribu sampai Rp80 ribu, dibandingkan di luar negeri yang lebih dari Rp140 ribu,” tambah Enny.

PAJAK KARBON

Rencana pajak karbon sejauh ini terbukti kurang kontroversial. Pajak tersebut ditujukan untuk membantu Indonesia mengurangi emisi dengan target 29 persen pada 2030, atau 41 persen dengan bantuan internasional.

Pemerintah mengusulkan pajak atas emisi karbondioksida, nitrous oxide, dan metana antara Rp70 ribu hingga Rp140 ribu per ton CO2e (setara karbon dioksida). Industri pertama yang dibidik adalah pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.

“Pajak karbon adalah hal yang baik untuk dimiliki, tetapi saya berharap itu tidak akan diterapkan pada produk akhir untuk pelanggan, seperti bahan bakar,” terang Bhima dari Celios. “Harus diterapkan pada industri hulu, khususnya industri ekstraktif seperti batu bara.”

Pemerintah harus mengalokasikan pendapatan dari pajak karbon untuk tujuan ramah lingkungan, seperti mengembangkan industri kendaraan listrik dalam negeri, tukas Bhima kepada South China Morning Post.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar