www.zejournal.mobi
Kamis, 02 Mei 2024

Perubahan Politik Islam di Indonesia: Moderat vs Konservatif?

Penulis : Fadhila Eka Ratnasari | Editor : Anty | Senin, 03 Mei 2021 11:56

Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, dianggap sebagai contoh utama keberhasilan demokrasi dengan masyarakat mayoritas beragama Islam. Berbagai organisasi dan intelektual Muslim Indonesia terkemuka telah mempromosikan merek Islam moderat negeri ini.

Baru-baru ini, menurut analisis Alexander R. Arifianto di Siyasa, reputasi itu menghadapi tantangan serius. Kelompok-kelompok Islamis baru dan lebih konservatif secara teologis memperoleh daya tarik dan pengaruh atas kelompok-kelompok moderat dalam dua dekade terakhir.

Tren itu kian nyata ketika kelompok Islamis melakukan serangkaian demonstrasi tahun 2016 dan 2017. Banyak pengamat menganggap perkembangan itu sebagai tantangan langsung terhadap otoritas rezim yang berkuasa yang dipimpin oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Menanggapi tantangan itu, rezim Jokowi memulai langkah-langkah untuk menekan kelompok-kelompok ekstremis melalui inisiatif yang dipimpin negara untuk memperkuat kredensial Islam dari kelompok-kelompok moderat.

Namun, banyak pengamat menilai tindakan itu merusak kebebasan berekspresi Islamis maupun pembangkang. Langkah-langkah tersebut juga dianggap telah menyebabkan kemunduran dalam kemajuan Indonesia menuju demokratisasi lebih lanjut.

PERPECAHAN KONVENSIONAL: TRADISIONALIS DAN MODERNIS

Islam di Indonesia dikenal dengan keragaman teologis, ideologis, dan politiknya. Namun, Islam sejak lama dibentuk oleh perpecahan teologis antara dua kelompok: tradisionalis dan modernis.

Kaum tradisionalis terdiri dari ulama dan pihak-pihak yang menekankan ketaatan umat Islam terhadap ulama dan ajarannya (taqlid). Kaum tradisionalis juga menekankan ritual lokal yang seringkali memadukan praktik keagamaan Islam dan pra-Islam. Kaum tradisionalis terutama diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Tanah Air, yang saat ini memiliki sekitar 90 juta pengikut.

Kaum modernis cenderung menolak ketaatan mutlak kepada ulama sambil menekankan penalaran independen (ijtihad) sebagai cara yang tepat untuk menafsirkan ajaran Islam. Kaum modernis terutama diwakili oleh Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia yang memiliki sekitar 30 juta pengikut.

Didirikan pada masa penjajahan Belanda, NU dan Muhammadiyah memiliki pengaruh politik yang signifikan sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Awalnya, kedua organisasi tersebut, bersama dengan kelompok Islam lainnya, menyerukan agar Indonesia menjadi negara Islam serta mengamanatkan presiden dan para pejabat lainnya untuk agar beragama Islam.

Namun, kaum nasionalis sekuler, yang dipimpin oleh presiden sekaligus bapak pendiri bangsa Soekarno, menolak permintaan itu karena keinginan mereka ialah mempertahankan Indonesia sebagai negara-bangsa yang multi-etnis dan multi-agama.

Selama empat dekade berikutnya, berbagai organisasi Islam Indonesia, termasuk NU dan Muhammadiyah, berupaya mewujudkan proposal untuk menjadikan Indonesia negara Islam melalui cara-cara demokratis, dengan membentuk partai politik dan berpartisipasi dalam pemilihan parlemen demokratis pertama di Nusantara yang diadakan tahun 1955.

Namun, desakan mereka untuk mengamandemen UUD 1945 untuk mendeklarasikan negara sebagai negara Islam menciptakan jalan buntu antara mereka dan rekan-rekan nasionalis sekuler, selama periode demokrasi pertama di Indonesia (1950-1959).

Perdebatan ini ternyata tidak dapat didamaikan, sehingga Soekarno membubarkan parlemen dan Majelis Konstituante pada Juli 1959. Keputusan itu mengakhiri demokrasi parlementer Indonesia dan menandai dimulainya empat dekade pemerintahan otoriter di bawah Soekarno (1959-1967) dan penggantinya Jenderal Soeharto ( 1967-1998).

Puluhan ribu Muslim Indonesia memperingati protes tahun 2016 yang menargetkan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, di Jakarta pada 2 Desember. (Foto: Reuters)

ISLAM DI ERA OTORITER (1959-1998)

Soekarno maupun Soeharto melancarkan tindakan keras terhadap kekuatan oposisi yang berusaha mengancam pemerintahan mereka, terutama organisasi Islam. Tahun 1959, kaum Muslim modernis terpukul setelah Soekarno melarang Partai Masyumi, yang mewakili konstituensi mereka. Soeharto menegaskan kembali larangan tersebut ketika dia menjabat.

Sementara itu, NU awalnya mendukung kekuasaan Soeharto, tetapi tidak disukai olehnya ketika menentang reformasi hukum keluarga yang dirintisnya.

Hingga akhir 1970-an, pertentangan NU dan Muhammadiyah terhadap rezim Soeharto dilandasi oleh keyakinan bahwa prinsip-prinsip teologis Islam lebih diutamakan daripada ideologi nasionalis Indonesia yang tertuang dalam Pancasila masing-masing: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Namun, pandangan kedua organisasi itu berubah selama 1980-an dan 1990-an di bawah kepemimpinan baru.

Di dalam NU, Abdurrahman Wahid, cucu pendirinya, menjadi ketua organisasi pada 1984. Selama 15 tahun berikutnya, Gus Dur secara bertahap mengubah pandangan teologis NU dari yang mendukung pembentukan negara Islam menjadi negara yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan demokrasi, toleransi, dan pluralisme agama.

Transformasi serupa juga terjadi dalam kepemimpinan Muhammadiyah di bawah Ahmad Syafii Ma’arif. Ia mengusung konsep dakwah kultural, di mana Muhammadiyah bergerak dalam konteks masyarakat Indonesia yang modern dan multikultural. Dia mempromosikan inisiatif seperti dialog antaragama serta kerja sama dengan rakyat Indonesia dari beragam latar belakang etnis dan agama untuk mengatasi berbagai masalah sosioekonomi.

Hal yang terpenting, para pemimpin senior dan aktivis dari kedua organisasi memainkan peran penting selama gerakan oposisi 1997-1998 melawan Soeharto, yang akhirnya digulingkan pada Mei 1998. Kedua organisasi juga memainkan peran kunci selama transisi demokrasi berikutnya dan membentuk partai politik mereka sendiri untuk berpartisipasi aktif dalam ruang publik yang baru saja kembali dibuka.

Namun pada saat yang sama, persaingan lama antara NU dan Muhammadiyah juga kian mengemuka. Misalnya, ketika Gus Dur menjadi presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis tahun 1999, hubungannya dengan pemimpin Muhammadiyah saat itu Amien Rais dengan cepat memburuk.

Amien Rais meluncurkan kampanye untuk memakzulkan Gus Dur pada Juli 2001. Meski hubungan antara kedua organisasi membaik setelah itu, ketegangan sektarian muncul kembali dari waktu ke waktu, terutama ketika mereka saling bersaing untuk mendapatkan dukungan politik dan posisi dalam pemerintahan Indonesia.

BANGKITNYA KELOMPOK ISLAMIS BARU

Banyak ulama dan aktivis NU dan Muhammadiyah menjadi kian aktif dalam politik nasional dan daerah setelah Indonesia beralih ke demokrasi. Akibatnya, menurut analisis Alexander R. Arifianto di Siyasa, kegiatan pendidikan dan dakwah agama diabaikan, terutama di kalangan profesional kelas menengah muda yang berpendidikan perguruan tinggi.

Kelompok-kelompok Islamis yang lebih baru, yang semakin menonjol di “pasar gagasan” religius Indonesia yang terbuka dan kompetitif selama tahun 2000-an dan 2010-an, memanfaatkan kekosongan itu.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berbicara kepada para pendukungnya di sebuah demonstrasi. (Foto: Reuters/Mark Baker)

Meski kebijakan pengawasan ketat Soeharto menargetkan ulama dan aktivis “ekstremis”, para Islamis bertahan melalui organisasi bawah tanah kecil seperti sel-sel di kampus negeri dan masjid yang simpatik dengan mereka selama rezim Soeharto. Para aktivis Islam muncul kembali pada akhir 1990-an, memanfaatkan kebebasan berekspresi yang baru muncul selama transisi demokrasi di Indonesia.

Salah satu kelompok itu, gerakan Tarbiyah (yang berarti ‘pendidikan’) dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Kelompok lainnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), adalah cabang dari gerakan transnasional Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan) dan mengadvokasi Indonesia untuk menjadi bagian dari kekhalifahan Islam global.

Selain kelompok-kelompok tersebut, berbagai kelompok Islamis kecil yang dipengaruhi oleh teologi Wahabi dan Salafi telah tumbuh dalam ukuran dan pengaruh. Salah satu gerakan tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI), yang didirikan oleh sekelompok ulama keturunan Hadhrami.

Sangat dipengaruhi oleh teologi Salafi, FPI menjadi salah satu kelompok Islam paling kontroversial di Indonesia karena tingginya frekuensi serangan kekerasan yang serampangan terhadap agama minoritas.

Seiring waktu, kaum Islamis menantang otoritas NU dan Muhammadiyah untuk membela Islam di Indonesia. Melalui metode dakwah yang kreatif dan inovatif, mereka menarik generasi muda Muslim, profesional kelas menengah, dan lainnya yang tidak lagi tertarik dengan metode dakwah tradisional yang digunakan oleh para ulama NU dan Muhammadiyah.

Kelompok dan pengkhotbah Islamis menggunakan metode dakwah yang inovatif melalui internet dan media sosial serta memanfaatkan sejumlah sarana lainnya seperti organisasi dakwah kampus, kelompok belajar berbasis komunitas (yang dikenal sebagai majelis taklim), dan bahkan pusat perbelanjaan kelas atas sebagai tempat untuk menggaet pengikut baru.

Pengaruh Islamisme yang berkembang pesat di Indonesia tidak banyak menarik perhatian publik sampai demonstrasi 2016-2017 yang dikenal sebagai Aksi Bela Islam di Jakarta. Lebih dari satu juta Muslim menghadiri serangkaian demonstrasi publik yang diselenggarakan oleh FPI, HTI, dan puluhan kelompok Islam lainnya.

Mereka menuntut penggulingan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, sekutu dekat Presiden Jokowi. Setelah penggulingan Ahok dan dijatuhkannya dakwaan penistaan agama, kelompok itu memosisikan diri mereka sebagai oposisi utama terhadap pemilihan kembali Jokowi pada Pilpres 2019, menuduhnya sebagai “presiden yang tidak Islami”.

RESPONS REZIM JOKOWI ATAS ISLAMIS BARU

Sebagai tanggapan, Jokowi menerapkan strategi dua arah untuk membentengi dirinya dari tantangan Islamis.

Pertama, pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan terhadap HTI (pada 2017) dan FPI (pada 2020), serta menuntut para pemimpin Aksi Bela Islam, seperti pemimpin tertinggi FPI Rizieq Shihab.

Kedua, Jokowi merangkul NU dan mengubahnya menjadi sekutu Islam utamanya. NU dapat menyediakan blok suara yang substansial untuk memastikan terpilihnya kembali Jokowi dengan sekitar 90 juta pengikutnya. NU juga menjalankan organisasi milisi Gerakan Pemuda Ansor yang dapat dimobilisasi untuk melawan mobilisasi FPI dan kelompok Islamis lainnya.

Berkat aliansinya dengan NU, Jokowi berhasil menetralkan oposisi Islam. Sebagai gantinya, ia memberikan pengangkatan politik senior kepada para pemimpin dan politisi NU, termasuk posisi Wakil Presiden (kepada pemimpin tertinggi NU Ma’ruf Amin) dan Menteri Agama (kepada Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas).

Namun, langkah Jokowi melawan kelompok Islamis secara luas dianggap sebagai bagian dari serangkaian kebijakan yang mendorong kemunduran demokrasi Indonesia sejak ia pertama kali menjabat tahun 2014. Kebijakan otoriternya termasuk seringnya penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap para kritikus rezimnya yang menyuarakan oposisi melalui internet dan media sosial.

Sementara itu, kedekatan NU dengan Jokowi juga dikritik sebagai pelanggaran terhadap komitmennya untuk mendorong pluralisme demokrasi yang diadaptasi NU pada pertengahan 1980-an. Beberapa aktivis NU menuduh organisasi itu mempromosikan “Islam statis” dengan menyelaraskan diri terlalu dekat dengan rezim Jokowi.


Berita Lainnya :

MEMERANGI EKSTREMISME VERSUS MENGAWAL PRAKTIK DEMOKRATIS?

Kesimpulannya, Alexander R. Arifianto menyoroti dala analisisnya di Siyasa, meningkatnya persaingan di “pasar gagasan” religius setelah transisi demokrasi Indonesia menyebabkan meningkatnya keunggulan Islamisme di Indonesia kontemporer.

Kaum Islamis memenuhi permintaan masyarakat akan konten agama, seiring kelompok moderat arus utama seperti NU dan Muhammadiyah menjadi kian sibuk dengan politik Indonesia, terutama selama transisi demokrasi di Indonesia.

Meski pemerintahan Jokowi dan kelompok-kelompok moderat seperti NU khawatir dengan meningkatnya Islamisme, metode represif yang mereka adopsi untuk mengatasinya mengancam rekam jejak norma demokrasi dan kebebasan berekspresi Indonesia bagi semua warganya.

Sebagai alternatif, Alexander R. Arifianto menyimpulkan di Siyasa, mereka harus melawan tantangan Islamis dengan mempertahankan norma-norma demokrasi di pasar agama Indonesia, sambil memanfaatkan berbagai sarana seperti media sosial untuk bersaing dengan kelompok Islamis.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar