www.zejournal.mobi
Kamis, 25 April 2024

Tak Berubah, Taliban Selamanya Bakal Injak-Injak Perempuan

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Jumat, 30 Juli 2021 12:52

Seiring militan ekstremis Taliban mendapatkan tanah dan kekuasaan, para perempuan Afghanistan yang telah bebas berhak takut akan masa depan.

Pemberontak Taliban melanjutkan perang mematikan mereka untuk merebut kendali Afghanistan, setelah kepergian pasukan Amerika Serikat dan NATO. Seiring mereka mendekati kota-kota besar yang pernah menjadi benteng pemerintah, seperti Badakhshan dan Kandahar, banyak orang Afghanistan (dan dunia) takut akan pengambilalihan total.

Perempuan Afghanistan mungkin yang paling takut pada para militan Islam ini, catat Homa Hoodfar dan Mona Tajali di The Conversation.

Homa Hoodfar dan Mona Tajali adalah akademisi yang mewawancarai 15 aktivis perempuan Afghanistan, tokoh masyarakat, dan politisi selama setahun terakhir, sebagai bagian dari upaya internasional untuk memastikan bahwa hak asasi perempuan dipertahankan dan dilindungi secara konstitusional di Afghanistan.

Demi keselamatan peserta penelitian, mereka tidak menggunakan nama atau menggunakan nama depan saja di sini.

“Reformasi Taliban sebenarnya tidak mungkin,” ucap seorang aktivis hak-hak perempuan berusia 40 tahun dari Kabul kepada Homa Hoodfar dan Mona Tajali. “Ideologi inti mereka adalah fundamentalis, terutama terhadap perempuan.”

DARI PENAKLUKAN KE PARLEMEN

Taliban memerintah seluruh Afghanistan dari 1996 hingga 2001. Setiap orang menghadapi pembatasan di bawah interpretasi konservatif mereka tentang Islam, tetapi yang diberlakukan pada perempuan adalah yang paling ketat.

Perempuan tidak bisa meninggalkan rumah mereka tanpa wali laki-laki, dan diharuskan menutupi tubuh mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan jubah panjang yang disebut burqa. Mereka tidak dapat mengunjungi pusat kesehatan, bersekolah, atau bekerja.

Pada 2001, AS menginvasi Afghanistan, menggulingkan rezim Taliban, dan bekerja dengan Afghanistan untuk mendirikan pemerintahan yang demokratis.

Secara resmi, perang AS di Afghanistan adalah tentang memburu Osama bin Laden, dalang serangan 9/11 World Trade Center. Taliban telah melindungi bin Laden di Afghanistan. Tetapi AS juga menggunakan hak-hak perempuan sebagai pembenaran untuk pendudukan.

Setelah Taliban diusir, perempuan berbondong-bondong memasuki kehidupan publik di Afghanistan. Itu termasuk bidang hukum, kedokteran, dan politik. Perempuan membentuk lebih dari seperempat anggota parlemen, dan pada 2016, lebih dari 150.000 perempuan telah terpilih untuk jabatan lokal.

Para pejuang Taliban bereaksi terhadap pidato oleh pemimpin senior mereka di distrik Shindand provinsi Herat, Afghanistan, tanggal 27 Mei 2016. (Foto: AP/Allauddin Khan)

RETORIKA VERSUS KENYATAAN

Tahun lalu, setelah 20 tahun di Afghanistan, AS menandatangani perjanjian dengan Taliban yang setuju untuk menarik pasukan Amerika, jika Taliban memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan mengadakan pembicaraan damai dengan pemerintah.

Secara resmi, dalam pembicaraan ini, para pemimpin Taliban menekankan bahwa mereka ingin memberikan hak-hak perempuan “menurut Islam”.

Tetapi para perempuan yang Homa Hoodfar dan Mona Tajali wawancarai mengatakan, mereka percaya bahwa Taliban masih menolak gagasan kesetaraan gender.

“Taliban mungkin telah belajar untuk menghargai Twitter dan media sosial untuk propaganda, tetapi tindakan mereka di lapangan memberi tahu kami bahwa mereka tidak berubah,” Meetra, seorang pengacara, berbagi dengan Homa Hoodfar dan Mona Tajali baru-baru ini.

Taliban tidak memasukkan perempuan dalam tim perundingnya sendiri, dan ketika pejuang lokal mereka mengambil alih distrik, hak-hak perempuan dicabut.

Seorang guru sekolah yang distriknya di utara provinsi Mazar-e-Sharif baru-baru ini jatuh ke tangan Taliban mengatakan: “Pada awalnya, ketika kami melihat wawancara Taliban di TV, kami mengharapkan perdamaian, seolah-olah Taliban telah berubah. Tetapi ketika saya melihat Taliban dari dekat, mereka tidak berubah sama sekali.”

Menggunakan pengeras suara masjid, para pejuang Taliban di daerah-daerah di bawah kendali mereka sering mengumumkan bahwa perempuan sekarang harus mengenakan burqa dan memiliki pendamping laki-laki di depan umum. Mereka membakar sekolah umum, perpustakaan, dan laboratorium komputer.

“Kami menghancurkan mereka (dan) mendirikan sekolah agama kami sendiri, untuk melatih Taliban di masa depan,” ucap seorang pejuang lokal dari Herat kepada saluran France 24 pada Juni 2021.

Di sekolah agama yang dikelola Taliban untuk anak perempuan, siswa belajar peran Islam yang “tepat” bagi perempuan, menurut interpretasi keras Taliban tentang iman. Itu sebagian besar terdiri dari tugas domestik.

Tindakan semacam itu menunjukkan kepada banyak orang di Afghanistan bahwa Taliban tidak setuju dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi, termasuk kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi.

Negosiator Taliban menuntut Afghanistan mengadopsi Konstitusi baru yang akan mengubahnya menjadi “emirat”, sebuah negara Islam yang diperintah oleh sekelompok kecil pemimpin agama dengan kekuatan absolut.

Itu permintaan yang mustahil bagi pemerintah Afghanistan, dan pembicaraan damai terhenti.

SEJARAH KESETARAAN

Banyak negara Muslim terus meningkatkan kesetaraan gender, lanjut Homa Hoodfar dan Mona Tajali. Itu termasuk Afghanistan, di mana perempuan telah berjuang untuk dan mendapatkan hak-hak baru selama satu abad.

Pada 1920-an, Ratu Soraya dari Afghanistan berpartisipasi dalam pembangunan politik negaranya bersama suaminya, Raja Amanullah Khan. Sebagai advokat untuk hak-hak perempuan, Soraya memperkenalkan pendidikan modern untuk perempuan, yang mencakup ilmu pengetahuan, sejarah, dan mata pelajaran lain, di samping pelatihan gaya ekonomi rumah tradisional dan topik agama.

Pada 1960-an perempuan termasuk di antara perancang Konstitusi komprehensif pertama Afghanistan, yang diratifikasi pada 1964. Konstitusi tersebut mengakui hak yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai warga negara dan mengadakan pemilihan umum yang demokratis.

Pada 1965, empat perempuan terpilih menjadi anggota Parlemen Afghanistan; beberapa lainnya menjadi menteri pemerintah.

Perempuan Afghanistan memprotes setiap serangan terhadap hak-hak mereka. Misalnya, ketika kaum konservatif agama pada 1968 mencoba mengesahkan undang-undang yang melarang perempuan belajar di luar negeri, ratusan siswi mengorganisir demonstrasi di Kabul dan kota-kota lain.

Status perempuan Afghanistan terus meningkat di bawah rezim sosialis yang didukung Soviet pada akhir 1970-an dan 1980-an. Di era ini, Parlemen semakin memperkuat pendidikan anak perempuan dan melarang praktik-praktik yang merugikan perempuan, seperti menawarkan mereka sebagai pengantin untuk menyelesaikan perselisihan antara dua suku, atau memaksa janda untuk menikah dengan saudara laki-laki dari suaminya yang telah meninggal.

Pada akhir rezim sosialis pada 1992, perempuan adalah peserta penuh dalam kehidupan publik di Afghanistan.

Pada 1996, kebangkitan Taliban mengganggu kemajuan ini, untuk sementara.

REPUBLIK TANGGUH

Era pasca-Taliban menunjukkan ketahanan perempuan Afghanistan setelah kemunduran yang melelahkan. Ini juga menyoroti keinginan publik untuk pemerintahan yang lebih demokratis dan responsif.

Proyek politik itu masih dalam tahap awal sampai sekarang. Penarikan AS sekarang mengancam kelangsungan hidup lembaga-lembaga demokrasi Aghanistan yang rapuh.

Taliban tidak bisa memenangkan kekuasaan di kotak suara. Hanya sekitar 13,4% responden dalam survei 2019 oleh The Asia Foundation yang menyatakan simpati kepada kelompok tersebut.

Jadi Taliban memaksakan otoritas mereka atas rakyat Afghanistan menggunakan peperangan, seperti yang mereka lakukan pada 1990-an. Banyak perempuan berharap apa yang terjadi selanjutnya tidak akan mengulangi sejarah itu, pungkas Homa Hoodfar dan Mona Tajali.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar