www.zejournal.mobi
Kamis, 10 Oktober 2024

Korsel Beri Tunjangan Rp 7,3 Juta Sebulan untuk Pemuda Kesepian

Penulis : Ian Publica News | Editor : Anty | Senin, 29 Mei 2023 15:22

Seoul - Lima tahun Yoo Seung-gyu (30) mengurung diri di apartemen studionya. Bulan lalu, untuk pertama kali ia mau membersihkan apartemennya, tempat ia bersarang tanpa kehidupan sosial sama sekali.

Yoo mengikuti kegiatan sebuah organisasi nirlaba pergi ke laut, memancing, dan bertemu dengan sesama 'pertapa' lainnya. Mereka adalah orang-orang kesepian yang total mengisolasi diri dari lingkungan.

"Rasanya aneh berada di laut, tetapi pada saat yang sama sangat menyegarkan setelah hidup terasing. Rasanya tidak nyata, tapi yang pasti saya ada di sana. Saya ada," kata Yoo, seperti ditulis Korea JoongAng Daily, Sabtu (27/5) malam.

Di Korea Selatan ada lebih dari 350 ribu orang berusia 19 hingga 39 tahun yang mengisolasi diri dan hidup kesepian. Dalam bahasa Jepang mereka ini disebut 'Hikikomori'.

Menurut Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korsel, semakin banyak anak muda memilih untuk menarik diri sepenuhnya dari masyarakat karena merasa 'gagal'.

Istilah hikikomori atau pertapa ini pertama kali muncul di Jepang pada 1990-an. Di Korsel yang sedang berjuang melawan tingkat kesuburan terendah di dunia dan penurunan produktivitas, hikokomori menjadi perhatian serius pemerintah.

Begitu khawatirnya akan jumlah anak muda yang menolak bermasyarakat, pemerintah Korsel sampai-sampai menawarkan para pertapa ini tunjangan bulanan 650 ribu won, sekitar Rp 7,3 juta, agar mereka mau keluar dari sarangnya.

Hikikomori terjadi umumnya karena mereka malu berpenghasilan rendah, minder, atau gagal dalam pekerjaan. Sementara tuntutan masyarakat semakin tinggi dan materialistik.

Selain menerima tunjangan uang, pemerintahan Presiden Yoon Suk-yeol juga memberikan berbagai subsidi, seperti kesehatan, pendidikan, konseling, kegiatan budaya, dan bahkan 'perbaikan penampilan'.

"Insentif ini bertujuan untuk memungkinkan remaja yang tertutup untuk memulihkan kehidupan sehari-hari mereka dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat," ujar pernyataan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga.

Kementerian mendefinisikan Hikikomori sebagai 'pemuda yang tinggal di ruang terbatas untuk waktu yang lama, terputus dari dunia luar, dan mengalami kesulitan yang signifikan untuk menjalani kehidupan normal'.

Sudah sebulan ini Yoo bergabung dalam sebuah perusahaan yang dikelola Yayasan Not Scary. Pelan-pelan ia mulai bersosialisasi. Tak selalu mulus, ia kadang masih kembali mengurung diri di apartemennya tanpa sebab.

Yoo mulai mengasingkan diri ketika berusia 19 tahun. Sempat dua tahun menjalani wajib militer, tapi kemudian ia kembali jadi pertapa.

Park Tae-hong, mantan pertapa lainnya, mengatakan mengisolasi diri bisa lebih 'menghibur'.

"Ketika Anda mencoba hal-hal baru, itu mengasyikkan tetapi pada saat yang sama, Anda harus menanggung kelelahan dan kecemasan tertentu. Tetapi ketika Anda hanya di kamar sendirian, Anda tidak perlu merasakannya," kata pria 34 tahun itu.

Menurut Institut Urusan Kesehatan dan Sosial, pada 2022 ada sekitar 3 persen kelompok usia 19-39 tahun 'memilih' hidup dalam kesepian. Pada saat yang sama, jumlah orang yang mengalami 'kematian yang sepi' --godoksa, dalam bahasa Korea-- juga meningkat.

Park menegaskan uang bukan faktor utama yang mendorong kaum muda untuk menyendiri. Para 'pertapa' ini berasal dari berbagai kalangan.

Lalu apa sesungguhnya yang membuat mereka Hikikomori? Ada perasaan tidak memenuhi standar kesuksesan masyarakat. Beberapa merasa tidak memiliki karir yang baik, ada juga karena merasa gagal dalam pendidikan dan asmara.

Yoo, misalnya, keluar dari perguruan tinggi karena tak betah masuk jurusan pilihan ayahnya. "Saya merasa sangat tersiksa,” katanya.

Kim Soo Jin, pengamat Hikikomori, melihat kaum muda Korsel merasa tertindas karena masyarakat mengharapkan orang menjadi sesuatu pada usia tertentu. Ketika tidak dapat memenuhi harapan tersebut, mereka berpikir telah gagal.

"Suasana sosial semacam ini membuat harga diri mereka terluka dan akhirnya memisahkan mereka dari masyarakat," Kim menjelaskan.

Park dan Yoo berharap suatu hari nanti masyarakat Korsel dapat lebih menerima anak muda dengan dengan minat di luar arus utama. Keduanya juga meminta publik tidak menuntut definisi sukses yang dilandasi materi.

"Tuntutan yang tinggi hanya mengakibatkan 'orang-orang gagal' ini menarik diri dari kehidupan sosial secara ekstrem," Yoo menegaskan. 


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar