www.zejournal.mobi
Jumat, 06 Desember 2024

Waspadai Putusan MK dan Boikot Pemilu

Penulis : Moch Eksan | Editor : Anty | Kamis, 05 Januari 2023 14:30

Di berbagai sudut kota, terutama di beberapa persimpangan strategis, gambar Ketua Cabang PDI Perjuangan Arif Wibowo di papan billboard berganti hanya gambar partai besutan Megawati Soekarnoputri.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) asal Daerah Pemilihan Jawa Timur IV (Jember-Lumajang), selama ini dikenal pakar dan pendekar pemilu PDI Perjuangan. Pergantian gambar di billboard menimbulkan pertanyaan besar dalam benak ini. Peristiwa ini jauh sebelum ramai-ramai gugatan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Mahkamah Konstitusi (MK).

Ternyata, pertanyaan baru terjawab setelah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melontarkan kemungkinan sistem pemilu berubah dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup.

Lontaran Asy'ari berhubungan dengan perkara uji materi UU Pemilu oleh dua kader partai. Pertama Demas Brian Wicaksono pengurus PDI Perjuangan, dan kedua Yuwono Pintadi anggota Partai Nasdem.

Kedua kader partai ini bersama-sama dengan Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono, mendaftarkan gugatan uji materi pada MK pada 15 Desember 2022 dengan nomor register perkara 119/PUU/PAN.MK/AP3/12/2022.

Nampaknya, bila dirunut berbagai peristiwa di atas, terasa ada cipta kondisi terhadap upaya penggantian sistem pemilu sehingga gugatan MK kali ini bukan gugatan biasa. Ini desain besar mengubah UU Pemilu tanpa pemerintah dan DPR yang punya kewenangan regulatif.

Tetapi, perubahan sistem pemilu melalui cara shortcut dengan menanfaatkan kekuasaan MK untuk membatalkan sebagian atau keseluruhan UU yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Mereka yang berkepentingan untuk mengubah sistem pemilu tahu persis bahwa jalan melalui MK lebih mudah dan berbiaya murah. Sebab, hanya perlu mengkondisikan ketua dan anggota hakim MK yang jumlahnya tak kurang dari 9 orang.

Para hakim konstitusi antara lain: Anwar Usman (Ketua), Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Delapan nama yang disebut terakhir adalah sebagai anggota.

Mereka pemegang otoritas konsitusi yang tertinggi. Keputusannya bersifat mengikat dan final. Sehingga, kedudukan 9 hakim konstitusi itu mengalahkan pemerintah dan DPR yang dipilih langsung oleh rakyat.

Karena kedudukan begitu sangat penting dan strategis, maka potensi abuse of power sangat besar. Apalagi, pengalaman sudah membuktikan. Hakim konstitusi juga manusia yang bisa terjerumus pada tindakan tercela.

Kasus Ketua MK Akil Moehtar dan anggota MK Patrialis Akbar yang terjerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam gratifikasi atas perkara yang ditangani, ini bukti mereka bisa terjerembab dalam kasus korupsi.

Maka dari itu, Ahmad Doli Kurnia meminta agar MK bersikap netral. Artinya, MK tak memutus kecuali atas dasar kompetensi keilmuan di bidang hukum tata negara. Tak ada muatan kepentingan politik atas pesanan seorang atau sekelompok orang untuk menggolkan upaya penggantian sistem pemilu.

Apalagi, semua fraksi di Senayan, kecuali fraksi PDI Perjuangan, sepakat menolak sistem proporsional tertutup, dengan 3 sikap:

Pertama, bahwa semua fraksi akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju.

Kedua, bahwa semua meminta MK untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dimana mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

Ketiga, bahwa semua mengingatkan agar KPU bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Pernyataan sikap bersama Fraksi Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, PPP tertanggal, 2 Januari 2023 di atas, lebih dari cukup bagi hakim konstitusi untuk mencerna aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.

Sekarang, semua kembali pada adik ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, dan kawan-kawan di MK, apakah drama penggantian sistem pemilu ini akan berlanjut atau tidak.

Bila MK konsisten dengan putusan sebelumnya seperti putusan pada era Mahfud MD tentang sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, maka stabilitas politik akan tetap aman dan terkendali.

Jika sebaliknya, MK nekat mengambil keputusan yang berbeda dengan keputusan MK sebelumnya dan menetapkan sistem proporsional tertutup, maka pasti menimbulkan eskalasi konflik vertikal dan horisontal jelang pemilu.

Saya amati perbincangan di berbagai group WA, sudah bergulir wacana boikot pemilu. Para bakal calon legislatif non kader atau bukan calon petahana sudah berancang-ancang mengurungkan niat maju sebagai calon dewan, baik di tingkat pusat, propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

Sistem proporsional tertutup sangat tak menguntungkan ikhtiar peningkatan partisipasi politik rakyat dalam pemilu. Dan, sistem ini juga sangat merugikan bagi bakal calon baru atau penantang petahana. Sebab, tertutup peluang kemungkinan untuk terpilih sebagai anggota parlemen.

Wacana boikot pemilu mengingatkan kita pada hal semisal di negara-negara lain. Seperti yang pernah terjadi di Mesir, Kuwait, Bahrain, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya. Kelompok oposisi di negara-negara tersebut tak percaya terhadap penyelanggaraan pemilu sehingga menimbulkan krisis politik yang berujung kekerasan fisik yang mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa.

Akhirnya, saya teringat seruan Gus Dur agar boikot pemilu dalam menghadapi konflik dualisme PKB pada Pemilu 2009. Semua pihak merugi, baik kubu Gus Dur maupun Cak Imin. KPU dan Pemerintah terlibat memperburuk konflik internal PKB tersebut.

Perolehan suara dan kursi PKB turun drastis. Pada Pemilu 2004, suara PKB sebesar 11,9 juta atau setara 10,56 persen dan dengan kursi 52. Sedangkan pada Pemilu 2009, suara PKB sebesar 5,15 juta atau 4,95 persen dan dengan kursi 28.

Jadi, pemaksaan sistem proporsional tertutup satu sisi dan boikot pemilu di sisi lain, akan menimbulkan fragmentasi politik. Banyak partai yang terpecah belah. Konsolidasi demokrasi akan gagal. Legitimasi kekuasaan akan sangat lemah dan rezim pemerintahab mudah dijatuhkan.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar