www.zejournal.mobi
Sabtu, 20 April 2024

Prancis dan Austria Sebenarnya Perangi Terorisme atau Islam?

Penulis : Fadhila Eka Ratnasari | Editor : Anty | Rabu, 07 April 2021 09:22

“Teroris” dan “separatis”: Apa artinya kampanye legislatif Prancis dan Austria yang menentang “politik Islam” (yang tidak pernah mereka definisikan dengan tepat) bagi masyarakat Muslim mereka?

Telah terjadi kontroversi yang menghebohkan mengenai undang-undang yang dirancang oleh pemerintah Prancis dan saat ini sedang dibahas di Senat negara itu. UU itu konon bertujuan untuk menghadapi “separatisme” Islam dan radikalisme kekerasan. Namun, yang dituduhkan oleh para kritikus adalah contoh nyata dari asumsi kesalahan kolektif atas semua Muslim Prancis atas tindakan pembunuhan, pengingkaran hak individu, dan Islamofobia yang didukung negara.

Namun setidaknya ada debat nasional yang bersemangat di Prancis dan sekitarnya tentang pembingkaian atas komunitas Muslim terbesar di Eropa. Kampanye serupa sedang dilancarkan terhadap komunitas Muslim Austria, tetapi dengan gaung media atau solidaritas publik yang jauh lebih kecil.

Faktanya, menurut pendapat Farid Hafez di Haaretz, Austria maupun Prancis sedang membuka jalan untuk membatasi kehidupan warga negara Muslim mereka. Pemerintah kedua negara membenarkan tindakan mereka atas nama memerangi “politik Islam” dan “separatisme Islam” yang tidak jelas. Namun, yang sebenarnya diserang Austria dan Prancis adalah prinsip yang telah lama dipegang atas kesetaraan fundamental bago semua warga negara mereka.

Selama sekian dekade, Austria sebagian besar dibayangkan sebagai negara yang tenang tanpa kekerasan politik. Setelah serangan 9/11, kaum elite politik Austria menggunakan populasi Muslim mereka sebagai contoh bagi dunia tentang “Muslim domestik yang baik”. Tidak ada benturan peradaban yang terjadi di sana.

Namun, iklim yang tampaknya harmonis ini berubah seiring waktu, terutama dengan munculnya Partai Kebebasan Austria (FPÖ) sayap kanan garis keras. Partai itu menegaskan karakterisasi Islam sebagai ancaman bagi masyarakat Austria, yang perlahan tapi pasti memenangkan dominasi dalam wacana nasional, jauh melampaui sayap kanan garis keras dari mana partai itu lahir.

Ketika pada 2 November 2020 seorang mantan simpatisan ISIS membunuh empat orang di jantung ibu kota Wina, Kanselir Sebastian Kurz langsung bereaksi untuk menenangkan situasi. Namun, dalam waktu kurang dari 24 jam, dia berubah arah.

Pemerintah Austria yang seharusnya mendapat kecaman ketika ternyata pelaku penembakan itu diawasi oleh dinas rahasia dalam negeri. Namun, Partai Rakyat Austria (ÖVP) sayap kanan tengah yang konservatif yang mengusung Kurz memilih menanganinya dengan gagah berani: Dalam waktu kurang dari 24 jam, pemerintah pimpinan ÖVP mengalihkan kesalahan dengan memicu perdebatan tentang dugaan ancaman “politik Islam”.

Itu adalah bagian dari strategi jangka panjang Partai ÖVP untuk menambah kecurigaan tentang apa yang disebut “politik Islam”, tetapi tampaknya lebih seperti “Islam” biasa.

Dengan dalih memerangi “politik Islam”, ÖVP dan sekutu koalisinya sejak 2017-2019 Partai Kebebasan Austria (FPÖ) telah menutup masjid dan melarang pemakaian jilbab di sekolah dasar negeri.

Setelah penembakan pada November 2020, pemerintahan koalisi Partai Hijau-ÖVP segera menutup sebuah masjid, sementara secara terbuka menerima bahwa tidak ada alasan hukum atau pencegahan kejahatan untuk melakukannya.

Akibatnya, sejumlah inisiatif tersebut gagal di pengadilan. Larangan hijab dicabut oleh Mahkamah Konstitusi Austria. Masjid dibuka kembali oleh Pengadilan Administratif Wina. Bahkan penutupan masjid setelah penembakan pada November pun ditangguhkan.

Namun bagi Partai ÖVP Kurz, perang melawan “politik Islam” tampaknya telah menjadi pilar ideologis inti partai. Bahkan di tengah pandemi COVID-19 yang menimbulkan kehancuran, ÖVP membuka apa yang disebutnya “proyek mercusuar Eropa”, Documentation Center of Political Islam, pusat pemantauan yang memetakan dan mengawasi berbagai LSM Muslim.

Setelah penembakan itu, Kanselir Kurz menegaskan bahwa Austria dan Eropa sedang “melawan dua tantangan”, lantas menyebutkan ancaman COVID-19 serta ancaman terorisme dan radikalisasi (Islam) sebagai sama berbahayanya. Bagi Kurz, politik Islam (yang selalu tidak didefinisikan dengan jelas) adalah tempat berkembang biaknya terorisme dan ideologi ekstremis yang membuka jalan bagi tindakan kekerasan.

Dalam serangannya yang tidak pandang bulu dan menghukum terhadap komunitas Muslim, Farid Hafez berargumen di Haaretz, Austria merasa berada di pihak yang “baik”. Prancis juga telah menyatakan dedikasinya untuk memerangi “separatisme Islam”, yang setara dengan apa yang disebut kepemimpinan politik Austria sebagai “politik Islam”. Demikian pula, pemerintahan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah gagal untuk mendefinisikan musuhnya. Para menteri senior pemerintah meluncurkan kampanye agresif untuk melawan “ ancaman Islam kiri”.

Setelah penembakan akhir tahun lalu, Prancis dan Austria ingin menunjukkan upaya pemberantasan tegas terhadap kekerasan. Namun, alih-alih menunjukkan dengan tepat individu dan kelompok Muslim yang melakukan kekerasan, mereka menindak tokoh-tokoh masyarakat sipil Muslim dan juru kampanye anti-rasisme. Tampak jelas bahwa inisiatif itu sama sekali tidak bertujuan menghukum individu Muslim yang berbuat kekerasan, tetapi ditujukan untuk melemahkan masyarakat sipil dan suara-suara anti-rasis yang menentang politik represif pemerintah.

Prancis di bawah Macron telah menutup 50 institusi. Di antara mereka adalah LSM terbesar yang memantau kejahatan rasial anti-Muslim, Collective Against Islamophobia in France (CCIF), yang pindah ke Belgia untuk menghindari pembubaran oleh Prancis.

Di Austria, rumah bagi 30 orang yang tidak terkait dengan simpatisan ISIS telah digerebek pada awal November 2020, beberapa di antaranya adalah pemimpin komunitas Muslim sejak lama. Mungkin karena posisinya sebagai salah satu pengkritik paling keras kebijakan Austria terhadap Islam dan Muslim, Farid Hafez menegaskan dalam kolom opininya di Haaretz bahwa dirinya termasuk di antara mereka.

Setidaknya Austria dan Prancis masih sendiri di Uni Eropa dalam hal ini. Kedua negara mempresentasikan rancangan makalah tentang terorisme setelah pembunuhan guru Prancis Samuel Paty dan serangan Wina, menyebutkan Islam lebih dari sekali dalam kaitannya dengan ekstremisme dan kekerasan, tetapi negara-negara anggota Uni Eropa lainnya mengecilkan argumen makalah tersebut.

Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Uni Eropa akhirnya mengadopsi deklarasi anti-terorisme tanpa menyebut Islam, serta menyingkir dari retorika benturan peradaban. Sebagian besar pemerintah negara-negara Eropa menolak untuk menghubungkan upaya kontra-terorisme mereka dengan kebijakan migrasi mereka dan menolak untuk menyamakan Islam secara umum dengan terorisme.

Namun, Austria berencana menjadikan “politik Islam” sebagai tindak pidana tanpa menawarkan definisi hukum apa pun tentang istilah tersebut. Austria juga bermaksud untuk memperkenalkan undang-undang anti-teror, mengubah undang-undang kewarganegaraan, hukum simbol nasional, dan hukum Islam, yang mengatur komunitas Muslim Austria.

Amnesty International Austria menyebut undang-undang tersebut sangat bermasalah dari perspektif hak asasi manusia, karena formulasi yang tidak jelas dan rentan terhadap penyelewengan, menargetkan “aktivitas dan afiliasi Muslim yang sah” yang dapat digunakan untuk “membenarkan pengawasan, penangkapan, pengusiran, pencabutan kewarganegaraan” dan berbagai hukuman lainnya, serta risiko yang ditimbulkannya terhadap kebebasan berbicara dan hak-hak sipil.


Berita Lainnya :

Pemerintahan Kurz tampaknya telah menemukan cara untuk mengeksploitasi serangan November 2020 untuk memperluas kekuasaan otoritas negara dan secara khusus menargetkan Muslim, meskipun komisi parlemen secara eksplisit menyatakan bahwa serangan itu dapat dicegah berdasarkan undang-undang yang telah ada.

Sama seperti di Prancis, Farid Hafez menyimpulkan di Haaretz, undang-undang baru Austria yang sekarang sedang dibahas di parlemen tidak akan berfungsi untuk meningkatkan keamanan nasional atau membantu menumbuhkan masyarakat demokratis dengan warga negara yang setara.

Hal yang akan terjadi justru sebaliknya. “Pencapaian” utama dari undang-undang itu akan jauh lebih membuat frustrasi umat Muslim dan, sayangnya, mengasingkan mereka lebih lanjut sebagai rakyat di negara yang tampaknya berkomitmen untuk membatasi dan mengecualikan mereka.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar