Dalil-dalil Kualitatif Dominasi Permohonan BPN, Sulitkan Pembuktian Kemenangan.
Jubir TKN, Arteria Dahlan menjawab pertanyaan reporter, menyatakan bahwa dalam Undang-undang Pemilu nomor 7/2017 tidak dikenal adanya perbaikan permohonan untuk sengketa pilpres. Namun di luar hukum formal tersebut, atas dasar saran majelis, tetap saja ada itikad baik dari pihak terkait, untuk menjawab baik permohonan versi terregistrasi tanggal 24 Mei 2019, maupun permohonan tambahan yang disebutnya sebagai permohonan baru, yang dikirim tanggal 10 Juni 2019.
Jika kita mencermati jawaban atas permohonan dari pemohon, baik pihak termohon maupun pihak terkait, keduanya telah menyajikan jawaban yang memiliki landasan hukum sangat kuat. Namun yang paling meyakinkan, adalah adanya permohonan yang dianggap sebagai salah alamat. Kewenangan yang tidak diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, justru dimuat dalam dalil pemohon.
Kewenangan untuk menyatakan diskualifikasi misalnya, menurut dalil pihak terkait, adalah kewenangan Bawaslu, namun pihak pemohon justru mendalilkan sebagai kewenangan MK.
Tak terhindarkan persepsi pihak terkait atas gugatan pemohon tersebut, seakan-akan kewenangan majelis hakim ditentukan atas dasar keinginan subjektif dari pemohon. Persepsi ini terasa akan membuat ngilu pihak pemohon.
Kewenangan yang jelas diberikan kepada MK, adalah perselisihan yang berkaitan dengan perhitungan dan perolehan suara hasil Pemilu atau Pilpres. Sebelumnya pihak termohon menyesalkan permohonan dari pemohon, ketika berkaitan dengan kewajiban menyajikan bukti-bukti yang diperlukan. Pemohon meminta pihak MK mencari sendiri bukti-bukti yang diperlukan atas kebenaran dalil-dalil yang disampaikan pemohon.
Menurut termohon, permintaan pemohon ini tidak lazim karena tidak sesuai dengan prinsip hukum, bahwa pihak yang menyampaikan dalil tentang suatu perkara, maka dirinyalah yang wajib memberikan bukti untuk membenarkannya.
Pihak terkait lebih menegaskan bahwa dalil-dalil yang disampaikan pemohon didominasi oleh asumsi-asumsi, serta tidak didasarkan atas pertimbangan dan bukti hukum.
Mahfud MD yang dimintai komentarnya, menyebut dalil-dalil pemohon yang didominasi narasi kualitatif, tidak memberikan penjelasan tentang asal perolehan suara masing-masing paslon yang dimuat dalam permohonannya.
Seharusnya pembahasan dalil-dalil itu disertai adu data, dan hal itu sangat dimungkinkan, jika pemohon memiliki bukti-bukti kuat. Namun jika mereka pun tidak mampu menampilkan bukti sebagai andalannya, bahwa hasil perhitungan termohon itu tidak sesuai, majelis hakim sulit menerima narasi yang ditampilkan.
Sebenarnya ada beberapa yurisprudensi yang bisa digunakan, dalam beberapa pilkada, MK juga pernah melakukan adu data seperti itu. Ketika pilkada Jawa Timur misalnya, dilakukan pemilihan ulang di Kabupaten Bangkalan, karena terindikasi adanya kecurangan yang terstruktur. Pemungutan suara ulangan itu pun hanya dilakukan di daerah yang menurut bukti persidangan, meyakinkan majelis hakim, sehingga diputuskan demikian.
Kesimpulannya, diterima atau tidaknya dalil pemohon, sangat tergantung kepada seberapa jauh mereka menampilkan bukti, boleh saja perhitungan suara ulangan itu dilakukan secara terbuka di persidangan. Hal itu bisa dilakukan hanya jika pemohon mampu meyakinkan majelis, bahwa ada selisih dalam perolehan suara di daerah tertentu.
Namun majelis hakim pun memiliki perhitungan sendiri, jika perhitungan ulang itu telah sampai pada tahap di mana tidak mengubah posisi pemenang, proses itu pun bisa diakhiri dengan tidak mengubah posisi perolehan suara.
Tak kalah menariknya, mengomentasi sikap hakim, Refly Harun menyampaikan analisisnya bahwa ada kelalaian di pihak majelis hakim. Seharusnya, segera setelah disampaikan pembacaan permohonan oleh pemohon, majelis hakim menyampaikan pertimbangan atas permohonan yang baru dibacakan. Namun ternyata hal ini tidak dilakukan.
Kalau saja pertimbangan itu diberikan, permohonan yang telah dibacakan bisa dikoreksi dan diberi waktu beberapa hari, namun karena tidak dilakukan, kesempatan untuk menjawab permohonan menjadi sangat sempit.
Menurut Refly, seharusnya yang dibacakan adalah permohonan yang telah diregistrasi, namun ketika yang dibacakan adalah dokumen lain, maka terjadilah dispute antara pemohon dengan termohon dan terkait.
Sebagai kompensasi dari tak ditempuhnya hukum acara secara tepat, maka masuk akal kalau jawaban baik pihak termohon maupun terkait tetap sesuai permintaan dari majelis hakim, meskipun jawaban yang tidak dimuat dalam permohonan yang diregistrasi, masuk dalam dokumen jawaban sebagai tambahan.
Beberapa poin yang bisa ditangkap dari proses persidangan hari Selasa, 18 Juni 2019, tampaknya pemohon akan mengalami kesulitan untuk memenuhi target, dimana selisih suara paslon 01 dengan paslon 02 yang mencapai 11 persen, akan berbalik menjadi keunggulan di pihak pemohon.
- Source : seword.com