www.zejournal.mobi
Rabu, 24 April 2024

Tiga Cara Potensial Washington Untuk Akhiri Petualangannya Di Suriah

Penulis : Sputnik | Editor : Indie | Kamis, 02 November 2017 10:13

Strategi luar negeri kontroversial Amerika Serikat di Timur Tengah dan Afrika Utara mendorong tercetusnya dua pertanyaan fundamental: Siapa yang bertanggung jawab atas Washington dan apa yang mereka inginkan?” mantan analis pertahanan Kanada dan mantan diplomat Patrick Armstrong mengatakan pada Sputnik. Mengungkap tiga cara yang biasanya digunakan AS untuk mengakhiri berbagai perang.

“Apapun motif Washington dalam melibatkan diri di Suriah merupakan sebuah aliran yang melemahkan Rusia atau Iran, menciptakan kengerian atau apapun hal mengerikan lainnya, nyatanya mereka telah gagal.” Patrick Armstrong seorang mantan analis dalam Departemen Pertahanan Nasional Kanada spesialis dalam USSR dan Rusia dan seorang kanselir di Kedutaan Besar Kanada di Moskow dari tahun 1993 sampai tahun 1996 mengatakan pada Sputnik.

“Momentum tersebut telah berubah dan dikalahkan disini, maupun di berbagai intervensi AS lainnya di MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara) segera tiba,” Armstrong menekankan.

Strategi AS di Suriah: Sebuah teka-teki yang dibalut misteri di dalam sebuah enigma

Situasi di Suriah, dimulai dengan berbagai laporan yang memperlihatkan pesawat Angkatan Udara AS diduga telah mengevakuasi komandan lapangan ISIS di Suriah terhadap pernyataan yang dikatakan para pengamat bahwa koalisi pembebasan Raqqa pimpinan AS bukanlah apa-apa melainkan hanya “pertunjukan boneka”mencetuskan banyak pertanyaan.

Akankah AS terus mendukung Pasukan Demokratis Suriah yang didominasi kaum Kurdi (SDF) di Raqqa sehubungan dengan “rencana pemerintahan” yang diuraikan oleh para milisi sekutu AS pada bulan April tahun 2017? Akankah Pentagon menolong kaum Kurdi mempertahankan kekuasaan atas lading minyak di Deir ez-Zor, yang dikatakan diambil alih dari ISIS lebih dari seminggu yang lalu?

Sebaliknya, ketidak inginan Washington untuk mendukung klaim kemerdekaan para sekutu Kurdi mereka di Irak telah menyebabkan beberapa komentator berasumsi bahwa Tehran, yang telah membantu Baghdad mengambil alih wilayah kaya minyak Kirkur dari Peshmerga, telah mampu mengungguli pemerintahan Trump di wilayah tersebut dan mencegah AS dari menciptakan kedudukan di kaum Irak Kurdi untuk melawan Iran.

Bagaimanapun, hal ini dan banyak pertanyaan lainnya mengenai keterlibatan AS di wilayah tersebut “tak dapat dijawab”, Armstrong mengatakan, “karena tak seorang pun tahu akan jawaban atas dua pertanyaan fundamental tersebut: Siapa yang bertanggung jawab atas Washington? Apa yang mereka inginkan?”

Apakah Suriah Telah Berubah Menjadi “Vietnam” Lainnya Bagi AS?

Meskipun hal ini telah menjadi jelas bahwa rencana AS di Timur Tengah berada dalam kehancuran, “Washington tak pernah mengakui kekalahannya,” sorot dari sang mantan diplomat.

“AS selalu menciptakan skema lainnya, kaum Kurdi di Suriah, pembunuhan kelompok di Afghanistan untuk menunda hari dimana mereka mengakui kekalahannya,” Armstrong menekankan. “Semua perang AS berakhir dalam satu dari tiga cara ini: Pertama, kemenangan penuh (1945), kedua, penghancuran yang dibiarkan begitu saja (Kosovo, Somalia atau Libya) atau, ketiga, evakuasi panic (Vietnam) Pada saat ini, cara ketiga tampak yang paling memungkinkan.”

Maih, menurut sang mantan analis pertahanan, apakah Presiden AS Trump “dapat mematahkan kebiasaan tersebut” masih belum dipastikan.

“Namun, saat ini kita melihat misteri lainnya: Ketika berkampanye dia muncul untuk memahami bahwa semua perang ini harus dihentikan, namun sejak memerintah dia telah terbawa arus hiruk pikuk media dan para pemimpin intelijen,” Armstrong menekankan.

“Jadi, pada akhirnya, semua pertanyaan kembali lagi pada: Siapa yang bertanggung jawab, dan apa yang mereka inginkan?” Tanya sang analis Kanada.

Rencana Perubahan Rezim Suriah Oleh CIA Pada Tahun 1986

Sampai saat ini, rencana As di Suriah telah menjadi sangat jelas: Pada tanggal 30 Juli tahun 1986, CIA mempersembahkan “sejumlah scenario yang memungkinkan yang dapat merujuk pada penggulingan Presiden (Hafez) Assad,” ayah dari pemimpin Suriah yang menjabat saat ini Bashar al-Assad.

Sebuah memo rahasia menyatakan bahwa “Kepentingan AS di Suriah mungkin paling baik dilayani oleh rezim Sunni,” dan menyoroti bahwa ada ketegangan sektarian yang diredam, “potensi kekerasan komunal yang serius tetap ada” dengan “sisa-sisa Persaudaraan Muslim sebagai “pemimpin dalam gerakan oposisi Sunni baru.” Waktu dan pemicu kerusuhan tetap menjadi dua isu utama.

Kemungkinan tahun 1986 bukan merupakan waktu terbaik untuk sebuah kudeta. Sebagai jurnalis investigasi pemenang Pulitzer Jack Anderson menulis dalam “Surat Washington” nya, kedekatan ikatan Hafez Assad dengan Uni Soviet membuatnya sulit dikalahkan: “Menyerang Suriah berarti menyerang Soviet; serangan ini tak akan menjadi serangan yang murah dan mudah bahwa (Presiden AS Ronald) Reagan yang dapat dilakukan di Grenada dan Libya. Dalam istilah Poker, inilah perbedaan antara antre penny dan permainan tanpa batas.”

Sang jurnalis mengatakan, “Suriah masih memiliki ribuan penasehat dari Rusia dan sejumlah besar persenjataan Soviet dan merupakan sekutu di Timur Tengah yang paling bergantung pada Moskow.”

Kejatuhan Soviet Membuka Kesempatan Bagi AS

Setelah kehancura Uni Soviet di tahun 1991, rezim pro Soviet di Timur Tengah, Asia Tengah dan Amerika Latin nampaknya menjadi sasaran yang mudah bagi semua rencana perang AS.

Pensiunan Angkatan Darat AS, Jenderal Wesley Clark, seorang mantan Komando Sekutu Tertinggi Eropa NATO dan seorang kandidat presiden Demokratis tahun 2004, mengingat kembali saat pidatonya pada tahun 2007 di Commonwealth Club California bahwa pada tahun 1991 Wakil Menteri Pertahanan saat itu untu Kebijakan Paul Wollowitz mengatakan padanya bahwa AS memiliki “waktu lima atau sepuluh tahun untuk membereskan semua rezim klien Soviet” di Suriah, Iran dan Irak.

Kabel diplomatis yang dirilis oleh WikiLeaks menunjukkan bahwa di tahun 2006 mantan Duta Besar AS untuk Suriah William Roebuck menginformasikan Washington mengenai “berbagai nilai potensi” dari pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan “cara yang memungkinkan untuk memanfaatkannya.”

Pada tahun 2012, pemerintahan Obaha dan Agen Intelijen Pertahanan AS (DIA) sangat waspada bahwa Salafists, sebuah ikhwanul Muslimin dan al-Qaeda di Irak (AQI) merupakan “pasukan utama yang mendorong pemberontakan di Suriah,” sejak awal terjadinya kerusuhan di negara tersebut. Sebagai mantan kepala DIA dan mantan penasehat keamanan nasional Michael Flynn mengatakan dalam wawancaranya pada tahun 2015 dengan Al Jazeera, “hal tersebut merupakan keputusan yang disengaja” oleh presiden AS saat itu.

Bagaimanapun, hal itu berarti tak ada yang banyak berubah sejak tahun 1986 ketika CIA memandang Ikhwanul Muslim yang radikal yang berpotensi sebagai pelopor dari gerakan oposisi di Suriah.

Rusia Mencari ‘Jawaban Jujur dan Komrehensif’ Dari AS

Kampanye udara Rusia di Suriah selama dua tahun, nampaknya mengejutkan para ahli strategi AS, telah memaksa Washington untuk melakukan penyesuaian terhadap rencananya. Jadi apa selanjutnya?

Setelah pertemuan pada tanggal 23 Oktober dengan Menteri Luar Negeri Irak Ibrahim Jaafari, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menekankan bahwa Moskow ingin Washington untuk menjelaskan apa slogan baru AS dalam kebikanannya terhadap Suriah.


Berita Lainnya :

Menteri luar negeri Rusia menekankan permintaan Washington untuk penciptaan “dewan” lokal di wilayah Republik Arab Suriah yang berdaulat dan eksodus massal terhadap teroris ISIS dari Raka selama operasi pimpinan AS di kota tersebut.

“Kami menujukan semua pertanyaan ini ke Washington dan berharap mendapat jawaban yang jujur dan dapat dipahami.” Lavrov menggarisbawahi.


- Source : sputniknews.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar